Populer

Minggu, 05 Mei 2019

Formasi Shalat Tarawih 443 Bukan Barang Baru Dalam Islam*

*
 *Zulkarnain elmadury

Ribut masalah tarawih formasi 443 memang menarik perhatian banyak orang dan kalangan yaitu kelompok-kelompok tertentu yang dengan sengaja mengeluarkan pernyataan batilnya 443 dengan satu salam. Tetapi bagaimana sebenarnya.

Emang hadistnya hanya satu dari Aisyah namun menjadi Mashur karena dikutip oleh kalangan tabiin menjadi sajian khusus di dalam kitab-kitab nya, dalam potongan hadis tersebut terdapat kalimat

يُصَلِّى أَرْبَعًا ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثاً

 “Beliau salat empat rakaat, kemudian beliau salat (lagi) empat rakaat, kemudian beliau salat tiga rakaat.”

Dalam mengomentari lafadz hadits tersebut tidak sedikit dari kalangan ulama dari dahulu sampai sekarang bagaimana sih formasi 443 yang sebenarnya itu. Apakah sesuatu yang aneh atau bukan, kalau misalnya diartikan sebagai formasi shalat tarawih 443 tanpa tahiyat awal dengan satu salam.

Untuk menerangkan ini memang perlu dibedah dan dibuka keunikan dan maksud dari lafadz hadits tersebut secara tuntas. Meskipun muncul kontra produktif terhadap paham yang berbeda, yang menyebut angka 4 4 3 dengan satu salam adalah batil. Tentu saja kalau disebut kata batil Artinya bahwa salat tarawih dengan formasi 443 tidak sah dijalankan atau dilaksanakan di dalam tarawih, dari kalangan Syafi'iyah beranggapan batil dan dari kalangan malikiyah juga beranggapan batin zama halnya dengan dari kalangan hambaliyah.

Itulah akhirnya muncul pendapat-pendapatmu otot karena menjadikan para ulama-ulama mereka sebagai hukum harga mati dan dengan mudah menjatuhkan vonis terhadap 443 sebagai bentuk pelaksanaan tarawih yang batil hukumnya.

Ibnu Abd al-Barr (w. 463 H) berkata:

وأما قوله يصلي أربعا ثم يصلي أربعا ثم يصلي ثلاثا فذهب قوم إلى أن الأربع لم يكن بينها سلام وقال بعضهم ولا جلوس إلا في آخرها وذهب فقهاء الحجاز وجماعة من أهل العراق إلى أن الجلوس كان منها في كل مثنى والتسليم أيضا ومن ذهب هذا المذهب كان معنى قوله في هذا الحديث عنده أربعا يعني في الطول والحسن وترتيب القراءة ونحو ذلك ودليلهم على ذلك قوله صلى الله عليه وسلم " صلاة الليل مثنى مثنى" لأنه محال أن يأمر بشيء ويفعل خلافه صلى الله عليه وسلم  

“Dan adapun perkataannya yushalli ‘arba’an (beliau salat 4 rakaat), tsumma yushalli ‘arba’an,tsumma yushalli tsalaatsan, maka suatu kaum berpendapat bahwa 4 rakaat itu tanpa salam di antaranya, dan sebagian mereka berpendapat, ‘Tidak duduk (tahiyat) kecuali di akhir rakaat keempat.’ Sementara ahli fiqh Hijaz dan sekelompok ulama Irak berpendapat bahwa duduk (tahiyat) di antara  4 rakaat itu pada setiap 2 rakaat, demikian pula salam. Dan orang yang berpendapat demikian memaknai kata empat pada hadis itu dalam hal panjang (lama rakaat), keelokan (tata cara), tertib bacaan, dan lain-lain. Dan dalil mereka atas pendapat itu sabda Nabi saw. ‘Salat malam itu dua rakaat, dua rakaat’, karena mustahil beliau memerintah terhadap sesuatu dan beliau berbuat sebaliknya.” (Lihat, At-Tamhid limaa fii al-Muwatha min al-Ma’ani wa al-Asaanid, XXI:70)

Jika diperhatikan perkataan Syekh Ibnu Abdul barr yang wafat tahun 463 Hijriyah menyebutkan bahwa 4 rakaat dengan satu salam itu memang sudah dahulu kala dikerjakan oleh para ulama, bahkan tidak diikuti dengan tahiyat kecuali di akhir rakaat ke-4. Nyata sekali apa yang disampaikan oleh Beliau kepada kita sebagai pembaca bahwa formasi 443 sudah pernah dikerjakan oleh ulama-ulama dahulu kala tidak termasuk kepada pola baru, apalagi kalau berbicara teks hadits nya makin menunjukkan kalau a443 itu memang dikerjakan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, meskipun lafadz Aisyah ini seolah berhenti tangan dengan ucapan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam yang menyebut sholat malam itu 2 rakaat 2 rakaat. Juga dengan perkataan Aisyah lainnya yang mengatakan setiap 2 rakaat salam. Namun jika dihayati lebih jauh riwayat Aisyah yang menggunakan kata bulan Ramadhan itu cuma hadis yang 443 yang lainnya tidak. Meskipun Syekh Ibnu Abdil barr juga mengutip pendapat ulama ulama Hijaz yang membenarkan 2 rakaat 2 rakaat salam tetapi disisi lain beliau mengutarakan ulama-ulama yang tetap konsisten memegang 4 rakaat tanpa tahiyat awal dengan satu salam.

Seorang ulama besar Al-Qadhi Iyadh yang wafat tahun 55 Hijriah berkata:

قولها : (يصلى أربعأ أربعا) الحديث : فذهب قوم إلى أنه لم يكن بين الأربع سلام ، وكذلك الأربع الأخر ، وقال اخرون : لم يجلس إلا فى اخر كل أربع ، وذهب معظم الفقهاء الحجازيين وبعض العراقين إلى التسليم بين كل اثنتين من الأربع ، وهو مذهب مالك ، وتأويل معنى ذكر أربع هنا عند بعضهم أنها كانت فى التلاوة  والتحسن على هيئة واحدة لم يختلف الركعتان الأوليان من الاخرتين ، ثم الأربع بعدها أيضا مشتبهة فى الصفة من الترتيل والتحسين وإن لم تبلغ فى طولها قدر الأول كما قال فى الحديث الاَخر : (يصلى ركعتين طويلتن ثم يصلى ركعتين هما دون اللتن قبلهما)

“perkataannya yushalli ‘arba’an ‘arba’an (beliau salat 4 rakaat, 4 rakaat), maka suatu kaum berpendapat bahwa tanpa salam di antara 4 rakaat itu, dan demikian pula 4 rakaat kedua, dan sebagian mereka berpendapat, ‘Tidak duduk (tahiyat) kecuali di akhir tiap rakaat keempat.’ Sementara sebagian besar ahli fiqh Hijaz dan sebagian ulama Irak berpendapat bahwa terdapat salam pada setiap 2 rakaat di antara  4 rakaat itu, dan ini pendapat Malik. Dan orang yang berpendapat demikian mentakwil kata empat pada hadis itu dalam hal tilawah dan pengelokan atas satu cara yang tidak berbeda antara dua rakaat pertama dengan dua rakaat akhir, demikian pula 4 rakaat setelahnya serupa dalam sifat tartil dan tahsin meskipun ukuran panjangnya tidak sama antara satu rakaat dengan rakaat sebelumnya, sebagaimana disebutkan dalam hadis lain semisalnya, ‘Beliau salat dua rakaat yang panjang, lalu salat dua rakaat yang kurang dari ukuran sebelumnya’.” (Lihat, Ikmal al-Mu’lim Syarh Shahih Muslim, III:49)

Sama halnya dengan perkataan Ibnu Abdul barr yang menyebutkan 443 dengan 1 salam telah dilaksanakan oleh ulama-ulama sebelumnya, meskipun. AlQadhy juga menyebutkan sebagaimana yang disebutkan oleh Syekh Ibnu Abdil barr bahwa formasi 443 itu memang dilaksanakan oleh para ulama-ulama sebelumnya. Baik perkataan beliau Ibnu Abdul barr dan AlQadhy intinya adalah sama-sama membenarkan adanya 443 dilaksanakan Jauh sebelum lahirnya Muhammadiyah. Sudah ratusan tahun yang silam perkataan tersebut dilaksanakan oleh ulama-ulama besar juga. Bukan baru sekarang.

Seorang ulama yang meninggal pada tahun 855 Hijriyah Imam Al Aini menyebutkan juga bahwa perkataan 443 dalam hadits Aisyah itu harus ditarik secara zahirnya juga, untuk memenuhi pengertian yang lebih lengkap di dalam menunjukkan maksud dari hadits Aisyah tersebut. Perkataan Abu Hanifah yang dikutip oleh Imam Al Aini adalah yang paling utama pada salat sunat waktu malam itu 4 rakaat dengan 1 salam, memberikan makna bahwa 443 itu memang telah mentradisi di zaman itu.

Sama halnya dengan almulla Ali Al Qori yang wafat pada tahun 1014 Hijriyah berkata

( ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا لَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ) ظَاهِرُ الْحَدِيثِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ كُلًّا مِنَ الْأَرْبَعِ بِسَلَامٍ وَاحِدٍ ، وَهُوَ أَفْضَلُ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ فِي الْمَلَوَيْنِ ، وَعِنْدَ صَاحِبَيْهِ صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى ، فَيَنْبَغِي أَنْ يُصَلِّيَ السَّالِكُ أَرْبَعًا بِسَلَامٍ مَرَّةً وَسَلَامَيْنِ أُخْرَى جَمْعًا بَيْنَ الرِّوَايَتَيْنِ ، وَرِعَايَةً لِلْمَذْهَبَيْنِ ( ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا ) ، وَهَذَا أَيْضًا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ صَلَّاهَا بِسَلَامٍ وَاحِدٍ ، وَيُؤَيِّدُهُ قَوْلُ مُسْلِمٍ بَعْدَ إِيرَادِ صَلَاةِ اللَّيْلِ ثُمَّ أَوْتَرَ بِثَلَاثٍ

“Kalimat ‘Kemudian Beliau salat empat rakaat, maka engkau jangan bertanya tentang baik dan panjangnya.’ Zhahir hadis menunjukkan bahwa setiap 4 rakaat dengan satu salam, dan cara ini lebih utama menurut Abu Hanifah dalam al-Malawain, sementara menurut kedua sahabatnya salat malam itu dua rakaat, dua rakaat. Maka layak bagi salik (murid, pengikut) untuk salat 4 rakaat dengan satu salam pada satu waktu dan dengan dua salam pada waktu lain sebagai upaya kompromi di antara dua riwayat dan memelihara kedua madzhab. Kalimat ‘Kemudian Beliau salat tiga rakaat,’ dan ini pun menunjukkan bahwa beliau melaksanakan 3 rakaat dengan satu salam, dan hal itu diperkuat oleh pendapat Muslim setelah menyebutkan salat malam kemudian beliau witir dengan 3 rakaat.” (Lihat, Jam’ al-Wasa’il fii Syarh as-Syama’il tanpa jilid dan halaman)

 dari pendapat yang dijelaskan di dalamnya terdapat kalimat arti Zahir itu harus memang ditampilkan dengan tetap melaksanakan 443 dengan satu salam. Meskipun beliau almulla Ali Al Qori tidak menepis dua rakaat salam

Imam Ash-Shan"any yang wafat tahun 1182 Hijriah berkata


 يُصَلِّي أَرْبَعًا ) يُحْتَمَلُ أَنَّهَا مُتَّصِلَاتٌ وَهُوَ الظَّاهِرُ وَيُحْتَمَلُ أَنَّهَا مُنْفَصِلَاتٌ وَهُوَ بَعِيدٌ إلَّا أَنَّهُ يُوَافِقُ حَدِيثَ صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى 

“Kalimat Yushalli arba’an (Beliau salat empat rakaat).  Kata arba’an (empat rakaat) mengandung dua kemungkinan makna: Pertama, makna zhahir, yaitu menunjukkan bersambung (empat rakaat sekaligus). Kedua, makna jauh, yaitu menunjukkan dipisah (empat rakaat tidak sekaligus). Namun makna jauh ini sejalan dengan hadis:

صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى

“Shalat malam itu dua rakaat, dua rakaat.” (Lihat, Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram, II:275)

Di sini beliau tidak menepis makna 2 rakaat dengan satu salam tetapi juga beliau memungkinkan 443 memang dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam yang diakhiri dengan salam di akhirnya tanpa tahiyat awal. Juga sebagaimana yang dikuatkan oleh seorang ulama yang meninggal pada tahun 13 29 Hijriyah, beliau Muhammad Samsul haq Abadi. Yang lebih memerinci maksud hadits Aisyah kalau harus diartikan 443 adalah 4 rakaat dengan satu salam.

Semoga keterangan ini semakin meyakinkan kita yang melaksanakan 4 4 3 dan tidak perlu lagi karena banyaknya orang-orang yang menggugat salat tarawih dengan formasi 443. Dan makin menambah Khazanah ilmu pengetahuan kita terhadap perbendaraan maksud hadis rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mengisahkan perdebatan di kalangan umat nya. Allahu A'lam Bishawab Semoga Allah bersama kita

Selasa, 13 November 2018

*Syarah Tarjih Muhammadiyah Tentang Niat Shalat*



Oleh Zulkarnain El Madury 

 *MATAN HPT* 
مُخْلِصًا نِيَّتَكَ للهِ (2)

dengan ikhlas niyatmu karena Allah, dasar:

لِقَوْلِهِ تَعَالَى: وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ (البيّنة: 6).  وَلِحَدِيْثِ: اِنَّمَا الاَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ. الحَدِيْثِ. (مُتَّفَقٌ عَلَيهِ)

Menilik firman Allah: 'Dan tidaklah mereka diperintah melainkan supaya menyembah kepada Allah dengan lkhlas kepadaNya dalam menjalankan Agama". (Bayyinah: 6).

 Dan menurut hadits: "Sesungguhnya (shahnya) amal Itu tergantung kepada niyat (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

 *Syarah Matan HPT Muhammadiyah*

Masalah niat Shalat menentukan amal ibadah yang di amalkannya. Dalam Islam niat shalat di asaskan karena Allah, mengharap ridhanya dengan penuh keikhlasan sesuai dengan persyaratan shalat yang menjadi rukun dalam dalam sholat. Karena itulah pentingnya niat menjadi sebab akibat apakah shalat itu sehat atau tidak, karena Allah atau bukan, sehingga jika tidak selaras dengan niat, akan sia sia belaka oleh sebab niatnya.


1. Niat ikhlas dalam ibadah adalah bagian dari rukun diterimanya ibadah. Nabi  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda , “Semua amal tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari)

2. Niat adalah amal yang menggantikan hati. Oleh karena itu, tidak boleh me-lafal-kan niat dalam melakukan ibadah apapun. Kopi shalat. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam , orang yang paling sempurna ibadahnya, tidak pernah mengajarkan atau mengamalkan lafal niat dalam ibadah apapun. Maka perbuatan me-lafal-kan niatnya termasuk di antara tindakan yang menyelisihi gerakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam .

3. Selama sudah ada lintasan hati untuk melakukan shalat tertentu maka ini sudah dianggap berniat. Oleh karena itu, yang perlu dihadirkan dalam hati membuat shalat adalah:

Shalat karena perintah Allah dan RasulNya shallallahu 'alaihi wa sallam .Nama shalat yang ingin dikerjakan, misalnya shalat dluhur atau asar.

Sedangkan sholat dengan bacaan sebagaimana yang banyak tertera dalam berbagai kitab kitab fiqih dalam pandangan sunnah tidaklah bisa diamalkan, karena bertentangan dengan perintah sunnah itu sendiri.

Contohnya seperti:


 *Niat Sholat Subuh* 

أصلي فرض الصبح ركعتين مستقبل القبلة أداء/مأموما/إماما لله تعالى

 “Saya berniat sholat fardhu subuh dua rokaat menghadap kiblat karena Allah Ta’ala/Ma’mum karena Allah Ta’ala/Imam karena Allah Ta’ala”.

 *Niat Sholat Dhuhur* 

أصلي فرض الظهر أربع ركعات مستقبل القبلة أداء/مأموما/إماما لله تعالى

 “Saya berniat sholat fardhu dhuhur empat rokaat menghadap kiblat karena Allat Ta’ala/Ma’mum karena Allah Ta’ala/Imam karena Allah Ta’ala”.

 *Bacaan Niat Sholat Ashar* 

أصلي فرض العصر أربع ركعات مستقبل القبلة أداء/مأموما/إماما لله تعالى

 “Saya berniat sholat fardhu asar empat rokaat menghadap kiblat karena Allat Ta’ala/Ma’mum karena Allah Ta’ala/Imam karena Allah Ta’ala”.

 *Niat Sholat Maghrib* 

أصلي فرض المغرب ثلاث ركعات مستقبل القبلة أداء/مأموما/إماما لله تعالى

 “Saya berniat sholat fardhu maghrib tiga rokaat menghadap kiblat karena Allat Ta’ala/Ma’mum karena Allah Ta’ala/Imam karena Allah Ta’ala”.

 *Niat Sholat Isya* 

أصلي فرض العشاء أربع ركعات مستقبل القبلة أداء/مأموما/إماما لله تعالى

 “Saya berniat sholat fardhu isya empat rokaat menghadap kiblat karena Allat Ta’ala/Ma’mum karena Allah Ta’ala/Imam karena Allah Ta’ala

Bacaan-bacaan seperti tersusun tersebut tidaklah datang dari perintah agama, sekalipun di lafadz kan di dalam hati tetap saja tidak disyariatkan oleh agama. Karena masalah niat salat itu tidaklah harus dengan lafadz yang tersusun rapi seperti itu, karena bukan contoh dari agama itu sendiri, melainkan pilah pilah dari orang-orang tertentu yang merumuskan bentuk bacaan apa yang harus dibaca di dalam niat. Seandainya seseorang datang di rumah berangkat ke masjid dan berdiri di masjid waktu Dhuhur Itu sudah pasti telah membawa niat salat duhur tidak perlu dengan kalimat yang tersusun sebagaimana tersebut di atas.

Sebagian orang yang bermadzhab Syafi'iyah salah paham terhadap ucapan Imam Syafi'i.Mereka mengira bahwa Imam Syafi'i mewajibkan niat me-lafal-kan. Imam As Syafi'i mengatakan: "... shalat itu tidak sah dengan an-nuthq." ( Al Majmu ' 3/277).

 *An Nuthq* artinya Berbicara atau mengucapkan. Sebagian Syafi'iyah memaknai An Nuthq di sini dengan melafalkan niat . Ini adalah salah satu paham terhadap maksud beliau rahimahullah .Dijelaskan oleh An Nawawi bahwa yang berhubungan dengan An Nuthq di sini menyatakan mengeraskan bacaan niat. Namun maksudnya adalah mengucapkan takbiratul ihram. An Nawawi mengatakan, “Ulama kami (syafi'iyah) mengatakan: orang yang memaknai sadar adalah keliru. Yang mengetuk Sebagai Syafi'i dengan An Nuthq mengkompilasi shalat kewajiban melafalkan niat namun maksudnya adalah takbiratul ihram. ”(Al Majmu '3/277).Kesalah-pahaman ini juga dibantah oleh Abul Hasan Al Mawardi As Syafi'i, beliau mengatakan, “Az Zubairi telah melakukan salat dalam mentakwil ucapan Imam Syafi'i dengan wajibnya mengucapkan niat shalat. Ini adalah takwil yang salah, yang wajib wajibkan adalah mencampurnya takbiratul ihram. "( Al Hawi Al Kabir 2/204).


Masyarakat kita sudah sangat akrab dengan melafalkan niat (maksudnya MELAKUKAN niat bersuara keras atau lirih) untuk ibadah-ibadah tertentu. Karena demikianlah banyak yang diajarkan oleh ustadz-ustadz kami bahkan telah melatih di sekolah-sekolah sejak Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi. Contohnya adalah tatkala melakukan shalat berniat ' Usholli fardhol Maghribi… ' atau pun tatkala berwudhu berniat ' Nawaitu wudhu'a liraf'il hadatsi… '. Jika kita melihat dari hadits di atas, memang sangat tepat jika setiap amalan harus diawali niat terlebih dahulu. Namun apakah niat itu harus dilafalkan dengan suara keras atau lirih ?!

Satu-satunya Kebenaran bisa dapat kita jawab. Bayangkan berapa banyak niat yang harus kita hafal untuk melakukan shalat mulai dari shalat sunat sebelum shubuh, shalat fardhu shubuh, shalat sunnah dhuha, shalat sunnah sebelum dzuhur, dst. Sangat banyak sekali niat yang harus kita hafal karena harus dilafalkan. Karena itu pula banyak orang yang meninggalkan amalan karena tidak mengetahui niatnya atau karena lupa. Ini sungguh sangat menyusahkan kita. Sayangnya Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ” _*Sesungguhnya agama itu mudah .”*_ (HR. Bukhari)

Ingatlah setiap ibadah itu bersifat tauqifiyyah , sudah paketan dan baku. Hakekat setiap ibadah yang dilakukan harus ada dari Al Qur'an dan Hadits termasuk juga dalam masalah niat.

Artinya melepaskan niat secara terinci,  jelas tidak sesuai dengan ketentuan agama, termasuk amalan ibadah yang tidak pernah dikenal di zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya.

*Kesimpulannya Masalah Niat*




Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan dalam kitab beliau Z a adul Ma'ad, I / 201, ”Jika seseorang menunjukkan pada kami satu hadits dari Rasul dan para sahabat tentang perkara ini, pasti kami akan menerimanya. Kami akan menerimanya dengan lapang dada. Karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari petunjuk Nabi dan sahabatnya. Dan tidak ada petunjuk yang mirip dengan petunjuk yang disampaikan oleh pemilik syari'at yaitu Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam . ”Dan sebelumnya beliau mengatakan tentang jawaban Nabi dalam shalat,” Rasulullah shallallahu' alaihi wa sallam mengatakan bahwa ia ingin mengatakan: ' Allahu Akbar '. DanBeliau tidak mengatakan satu lafadz pun sebelum takbir dan tidak pula melafadzkan upaya sama sekali . "

Maka setiap orang yang menggunaan ucapan niat wudhu, shalat, puasa, haji, dsb, maka silakan tunjukkan dalilnya. Jika memang ada dalil tentang niat tersebut, maka kami akan ikuti. Dan janganlah hal-hal yang berarti perkara baru dalam agama yang tidak ada esensi dari Nabi. Karena Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ” Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada dasar dari kami, maka amalan tersebut tertolak . (HR. Muslim). Dan janganlah selalu beralasan dengan mengatakan ' Niat kami kan baik ', karena sahabat Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhuma mengatakan,' Betapa banyak orang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya. ”(HR. Ad Darimi, sanadnya shahih, lihatIlmu Ushul Bida ' , hal. 92)

Minggu, 11 November 2018

*Tata Cara Shalat Wajib*




كَيْفِيَّةُ الصَّلاَةِ المَكْتُوبَةِ




Oleh Zulkarnain El Madury

Berikut ini tata cara sholat dalam HPT Muhammadiyah, berisi praktek sholat sesuai dengan cara Rasulullah. Di maksudkan agar sholat kita sesuai dengan shalat Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam.

_*HPT menyajikan dengan bentuk sederhana dan sesuai tuntunan Nabi shallallahu'alaihi wasallam, sebagaimana tertulis gambarannya seperti ini:*_

اِذَا قُمْتَ اِلَى الصَّلاَةِ فَقُلْ: "اللهُ اّكْبَرُ" (1)

Bila kamu, hendak menjalankan shalat, maka bacalah: “Allahu Akbar"Dasarnya :

لِحَدِيْثِ اَبِى دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِىِِّ بِاِسْنَادٍ صَحِيحٍ: مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الوُضُوءُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيْرُ وَتَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيمُ. وَحَدِيْثُ ابْنِ مَاجَه وَصَحَّحَهُ ابْنِ خُزَيْمَةَ وَابْنِ حِبَّانَ مِنْ حَدِيْثِ حُمَيْدِ السَّاعِدِىِّ قَالَ: كَانَ رَسُولُ الله صلعم اِذَا قَامَ اِلَى الصَّلاَةِ وَاسْتَقْبَلَ القِبْلَةَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ وَقَالَ: "اللهُ اَكْبَرُ". وَلِحَدِيْثِ: ِاذَا قُمْتُ اِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ. الحَدِيْثُ. (مُتَّفَقٌ عَلَيهِ)

Menurut hadits shahih yang ada perbedaan diriwayatkan oleh Abu Dawud dan wanita dan Tirmidzi: "Kunci (pembuka) shalat  itu wudlu, permulaannya takbir dan penghabisannya salam". Dan hadits shahih dari Ibnu Madjah Yang dishahihkan oleh Ibbnu Khuzaimah dan Ibnu Hiban dari hadits Abi Humaid Sa'idi bahwa Rasulullah, jika shalat ia menghadap ke Qiblat dan mengangkat kedua belah tangannya dengan membaca "Allahu Akbar". Dan menurut hadits: "Bila kamu menjalankan shalat, takbirlah……..seterusnya hadits. (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

*Syarah Matan Shalat*

Dalam bahasa الصلاة memiliki beberapa arti : shalat, sholawat , sembahyang, berdoa dan berkah.

Misalnya :


الصلاة هي التفاوض الكبير مع القوى العليا (ترجمة الأفلام)

_*Negosiasi besar dengan kekuatan yang lebih tinggi ialah berdoa*_

Itu arti pemakaian kata sholat yang disesuaika  dengan maksud dan tujuan. Namun sholat dalam Islam adalah :

Shalat ([sαlat'] bahasa Arab: صلاة; transliterasi: alāt; variasi ejaan: shalat, solat, sholat) merujuk kepada ibadah pemeluk agama Islam. Menurut syariat Islam, praktik salat harus sesuai dengan segala petunjuk tata cara Nabi Muhammad sebagai figur pengejawantah perintah Allah. Umat muslim diperintahkan untuk mendirikan salat karena menurut Surah Al-'Ankabut dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar.

_*"...dirikanlah salat, sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar, dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain)."*_

— Al-'Ankabut 29:45

_*Sedangkan praktek sholat itu diatur sesuai dengan ketentuan syariat, mulai dari takbiratul ikhram hingga salam. Tidak boleh seseorang sholat dengan cara cara mereka sendiri, tetapi wajib mengacu pada kaifiyat sholat yang datang dari Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam.*_

Cara sholat pertama adalah dengan berdiri tegak lalu mengangkat tangan setentang daun telingan atau dada sambil diaertai niat mengucapkan lagadz *Allahu akbar*

1. Takbiratul Ihram merupakan rukun shalat. Harus dilakukan baik menjadi imam, makmum, maupun shalat sendirian.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

_*“Kunci halat adalah bersuci, memulainya dengan takbir, dan mengakhirinya dengan salam.” (HR. Abu Daud 61, Turmudzi 3, & disahihkan al-Albani).*_

2. _*Yang dimaksud takbiratul ihram adalah ucapan: Allaahu akbar…, dan bukan mengangkat tangan ketika takbir. Sementara mengangkat tangan ketika takbiratul ihram hukumnya dianjurkan dan tidak wajib.*_

Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,

رفع اليدين عند تكبيرة الإحرام، وعند الركوع، وعند الرفع منه، وعند القيام من التشهد الأول سنة

“Mengangkat tangan ketika talbiratul ihram, ketika rukuk, ketika i’tidal, dan ketika bangkit ke rakaat ketiga dari tasyahud awal, hukumnya sunah.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin volume 13).


1. Takbiratul Ihram merupakan rukun shalat. Harus dilakukan baik menjadi imam, makmum, maupun shalat sendirian.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

“Kunci halat adalah bersuci, memulainya dengan takbir, dan mengakhirinya dengan salam.” (HR. Abu Daud 61, Turmudzi 3, & disahihkan al-Albani).

2. Yang dimaksud takbiratul ihram adalah ucapan: Allaahu akbar…, dan bukan mengangkat tangan ketika takbir. Sementara mengangkat tangan ketika takbiratul ihram hukumnya dianjurkan dan tidak wajib.

Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,

رفع اليدين عند تكبيرة الإحرام، وعند الركوع، وعند الرفع منه، وعند القيام من التشهد الأول سنة

“Mengangkat tangan ketika talbiratul ihram, ketika rukuk, ketika i’tidal, dan ketika bangkit ke rakaat ketiga dari tasyahud awal, hukumnya sunah.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin volume 13).

3. Keadaan telapak tangan ketika takbir:

a. Telapak tangan dibentangkan secara sempurna dan tidak menggenggam

b. Jari-jari telapak tangan tidak terlalu lebar dan tidak terlalu rapat

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ رَفَعَ يَدَيْهِ مَدًّا

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika memulai shalat, beliau mengangkat kedua tangannya dengan dibentangkan.” (HR. Abu Daud 753, Turmudzi 240, dan dishahihkan al-Albani)

c. Telapak tangan dihadapkan ke kiblat dan diangkat setinggi pundak atau telinga

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya setinggi pundak, ketika memulai shalat.” (HR. Bukhari 735 & Muslim 390).

Dari Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ إِذَا كَبَّرَ، وَإِذَا رَكَعَ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ حَتَّى بَلَغَتَا فُرُوعَ أُذُنَيْهِ

“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika takbiratul ihram, ketika rukuk, ketika i’tidal, hingga setinggi daun telinga.” (HR. Nasai 1024, dan yang lainnya).

4. Cara mengangkat tangan ketika takbir ada 3:

a. Mengangkat tangan sampai pundak lalu membaca takbir

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhumma,

كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا قام إلى الصلاة؛ رفع يديه حتى تكونا حذو منكبيه، ثم كبَّر

Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai shalat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga setinggi pundak, kemudian beliau bertakbir. (HR. Muslim 390).

b. Mengangkat tangan lalu sedekap bersamaan dengan takbir

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,

رأيت النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افتتح التكبير في الصلاة، فرفع يديه حين يكبر

”Saya melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai takbiratul ihram ketika shalat, beliau mengangkat kedua tangannya  ketika takbir. (HR. Bukhari 738)

c. Membaca takbir, lalu mengangkat tangan

Dari Malik bin al-Huwairits,

كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا كبر؛ رفع يديه

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika usai takbir, beliau mengangkat tangan” (HR. Muslim 391).

5. Takbiratul harus dilakukan dalam keadaan posisi tubuh tegak sempurna dan tidak boleh sambil condong mau rukuk. Karena syarat sah-nya takbiratul ihram adalah dilakukan sambil berdiri bagi yang mampu.

6. Takbiratul ihram tidak disyaratkan harus dibarengkan dengan niat shalat. Menggabungkan dua hal ini adalah mustahil. Karena anggapan inilah, banyak orang yang ditimpa penyakit was-was ketika takbir, sehingga takbirnya dilakukan berulang-ulang.

Al-Kasani mengatakan,

إن تقديم النية على التحريمة جائز عندنا إذا لم يوجد بينهما عمل يقطع أحدهما عن الآخر

“Boleh mendahulukan niat dari pada takbiratul ihram menurut madzhab kami (hanafi), jika tidak ada kegiatan apapun yang menyelai antara niat dan takbiratul ihram.” (Badai as-Shanai, 1/329).

Ibnu Qudamah juga menegaskan,

قال أصحابنا: يجوز تقديم النية على التكبير بالزمن اليسير

“Para ulama madzhab kami (hambali) mengatakan, ‘Boleh mendahulukan niat sebelum takbiratul ihram, selama jedahnya tidak lama.” (al-Mughni, 1/339).

7. Takbiratul ihram hanya dilakukan sekali dan tidak perlu diulang-ulang, yang ini umumnya terjadi karena was-was. Untuk mengobatinya, anda bisa pelajari artikel Cara Mengobati Was-was

8. Orang yang shalat sendirian atau makmum, takbirnya dibaca pelan.Hanya terdengar dirinya sendiri.

Artinya takbiratul Ihram adalah itu adalah suatu yang syar' menjadi awal dari sholat.

Tetapi yang paling penting dari tata cara sholat jangan lupa wudhu'

إذا قُمتَ إلى الصَّلاةِ فأسْبِغ الوُضُوءَ، ثم اسْتقبل القِبْلةَ فكبِّر…

“Jika engkau hendak shalat, ambilah wudhu lalu menghadap kiblat dan bertakbirlah…” (HR. Bukhari 757, Muslim 397).

Bersambung

Minggu, 04 November 2018

Hukum Dzikir Dengan Suara Keras

Bagaimanakah hukum berdzikir dengan suara keras dan bagaimana sikap Muhammadiyah menjawab masalah dzikir keras ini, ikuti saja kajian dzikir yang disampaikan oleh seorang Ustadz Muhammadiyah yang memiliki kemampuan dalam bidang ilmu agama, Selamat menonton dan menikmati sajian dari Muhammadiyah

Kajian Tarjih PP. Muhammadiyah

Bagi mereka yang ingin lebih jauh paham Tarjih Muhammadiyah dengarkanlah kajian Tarjih Muhammadiyah bersama Profesor Doktor Syamsul Anwar dan Ustadz Samsul Hidayat MA.

CARA SHOLAT NABI ALA MUHAMMADIYAH

Ayo kita belajar salat yang benar sesuai dengan cara Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam di dalam beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala hanya dengan cara menonton video ini sampai selesai anda akan menjadi salah satu pengikut Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang sempurna salatnya Insya Allah

Kajian Tarjih Muhammadiyah

Video ini menggambarkan kajian Tarjih Muhammadiyah yang wajib diikuti oleh seluruh warga Muhammadiyah di manapun berada Semoga bisa memberikan tambahan ilmu kemuhammadiyahan baik di dalam beraqidah ataupun beribadah termasuk masalah masalah kemasyarakatan atau sosial Ayo kita dengarkan dan kita tonton bersama

Kamis, 25 Oktober 2018

Bid'ah Dalam Aqidah (TARJIH MUHAMMADIYAH




Oleh Zulkarnain El Madury

Imam Hujjatul Islam, Al Ghazali pernah menyatakan bahwa tentang kesesatan filsafat, terutama terkait ketuhanan yang lebih mengandalkan capaian akal. Itulah sebabnya dalam Islam ada larangan berrbicara atau memperbincangkan ilmu ketuhanan atau teologi dengan hanya sekedar mengandalkan akal. Didalam HPT, terkait pembicara Dzat Allah di pungkas dengan Peringatan  dari Majelis Tarjih akan bahaya membicarakan Allah.

تَنْبِيْهٌ

PERHATIAN

مَا كَلَّفَنَا اللهُ بِالْبَحْثِ فِى اْلاِعْتِقَادِ بِمَا لاَ تَصِلُ إِلَيْهِ عُقُوْلُنَا (16)

Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak tercapai oleh akal dalam hal kepercayaan (16).

(16) لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا (البقرة : 286).

(16) “Allah tidak membebani seseorang melainkan seimbang dengan kekuatannya.” (Baqarah: 286(.


 لأَنَّ عَقْلَ الاِنْسَانِ لاَيَسْتَطِيعُ أَنْ يَصِلَ اِلَى مَعْرِفَةِ ذَاتِ اللهِ وَكَيْفِيَّةِ اِتِّصَافِهِ بِصِفَاتٍ فَلاَ تَبْحَثْ عَنْهُ (17)

 Sebab akal manusia tidak mungkin mencapai pengertian tentang Dzat Allah dan hubungannya dengan sifat-sifat yang ada pada-Nya. Maka janganlah engkau membicarakan hal itu (17).

 وَلَيْسَ فِى وُجُوْدِهِ  تَعَالَى شَكٌّ. أَفِى اللهِ شّكٌّ فَاطِرِ السَّمَوَاتِ وَالاَرْضِ ؟ (اِبْرَاهِيم:10).

 *Tak ada kesangsian tentang adanya. ”Adakah orang ragu tentang Allah yang menciptakan langit dan bumi”?* (Surat Ibrahim:10).


(17) عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ قَومًا تَفَكَّرُوْا فِى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَقَالَ النَّبِىُّ ص م: تَفَكَّرُوْا فِى  الْخَلْقِ وَلاَ تَفَكَّرُوْا فِى اللهِ فَاِنَّكُمْ لَنْ تَقْدِرُوْا قَدْرَهُ. وَعَنْهُ اَيْضًا بِلَفْظٍ آخَرَ: تَفَكَّرُوْا فِى الْخَلْقِ وَلاَ تَفَكَّرُوْا فِى الْخَالِقِ فَاِنَّكُمْ لاَ تَقْدِرُونَ قَدْرَهُ  (رَوَاهُ اَبُوالشّيخِ).

(17) “Hadits dari Ibnu ‘Abbas, bahwasanya orang banyak (sedang) memikirkan keadaan Allah Yang Maha Mulia dan Agung, maka Nabi s.a.w. bersabda: “Berfikirlah kamu sekalian tentang mahkluk Allah dan janganlah kamu sekalian berfikir tentang dzat-Nya, karena kamu sekalian tidak akan mampu menggapai-Nya”. Dan dari Ibnu “Abbas juga dengan lain perkataan: “ _Berfikirlah kamu sekalian tentang makhluk (ciptaan-Nya) dan janganlah kamu berfikir tentang Khaliq (Allah), karena kamu sekalian tidak akan mampu menggapai Nya.”_   (Diriwayatkan oleh Abu Syaikh    Hasan, Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah [1788]).



وَمَا قَدَرُوْا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُوْا مَا أَنْزَلَ اللهُ عَلَى بَشَرٍ مِنْ شَيْءٍ قُلْ مَنْ أَنْزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاءَ بِهِ مُوسَى نُورًا وَهُدًى لِلنَّاسِ تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ تُبْدُوْنَهَا وَتُخْفُونَ كَثِيرًا وَعُلِّمْتُمْ مَا لَمْ تَعْلَمُوْا أَنْتُمْ وَلا ءَابَاؤُكُمْ قُلِ اللهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ (الانعام: 91)


“Dan mereka tidak menghargai kepada Allah sebagaimana mestinya, dikala mereka berkata : Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia.” Katakanlah: Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang di bawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi ummat manusia, yang kamu jadikan lembaran-lembaran, (sebagian) kamu memperlihatkan dan banyak diantara kamu yang menyembunyikan, padahal telah diajarkan kepada kamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak ketahui. Katakanlah:”Allahlah (yang menurunkan-nya) kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatan.”(An’am:91).



وَقَدْ سَدَّ القُرْآنُ عَلَى الْعُقُولِ بَابَ الْخَوضِ فِيْمَا لاَ تَبْلُغُهُ الْمَدَارِكُ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ. وَنَصَّ عَلَى اَنَّ قُوَّةَ الْعَقْلِ مَحْدُودَةٌ وَاَنَّهُ مُحِيْطٌ بِالنَّاسِ فِى قَوْلِهِ: يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيْطُوْنَ بِهِ عِلْمًا. وَكَفَى بِالْمُؤمِنِيْنَ شُغْلاً أَنْ يَتَدَبَّرُوْا فِى مَخْلُوْقَاتِهِ لِيَسْتَدِلُّوْا عَلَى وُجُودِهِ وَقُدْرَتِهِ وَحِكْمَتِهِ (18).

Memang Al-Qur’an telah menutup pintu pemikiran dalam membicarakan hal yang tak mungkin tercapai oleh akal dengan firman-Nya yang berbunyi: *”Tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya”* . (QS.Syura: 11). Diapun telah menjelaskan bahwa kekuatan akal itu terbatas dan bahwa Dia meliputi semua manusia, dalam firman-Nya: “Dia tahu segala yang ada dimuka dan dibelakang mereka sedang pengetahuan mereka tak mungkin mendalami-Nya.” (Surat Thaha ayat 110). _Bagi orang mukmin cukuplah bila mereka memikirkan segala makhluk-Nya, guna membuktikan ada-Nya, kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya_ .(18)

Syarah:


Diriwayatkan dari Fudhalah bin Ubaid Radiyallaahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: "Tiga jenis orang yang tidak perlu engkau tanyakan lagi nasibnya; orang yang memisahkan diri dari jama'ah, ia mendurhakai imam dan mati dalam keadaan durhaka. Budak wanita atau pria yang melarikan diri dari tuannya, lalu mati. Dan seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya dengan memberi perbekalan yang cukup, lalu sepeninggal suaminya ia bersolek (untuk lelaki lain)." Tiga jenis orang yang tidak perlu engkau tanyakan lagi nasibnya; Orang yang merampas selendang Allah, sesungguhnya selendang Allah adalah kesombongan-Nya, sarung-Nya adalah kemuliaan. Orang yang ragu tentang Allah. Dan orang yang berputus asa terhadap rahmat Allah." (Shahih, HR Bukhari dalam al-Adabul Mufrad [590], Ahmad [IV/19], Ibnu Hibban [4559], Ibnu Abi 'Ashim dalam as-Sunnah [89], dan al-Bazzar [84]).


Diriwayatkan dari Aisyah Radiyallaahu 'anha. bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya syaithan mendatangi salah seorang dari kamu, lalu mengatakan, 'Siapakah yang telah menciptakanmu?' 'Allah!' jawabnya. Lalu syaithan bertanya lagi: 'Lalu siapakah yang menciptakan Allah?' Jika kalian menghadapi hal seperti ini, maka hendaklah ia mengucapkan, 'Aku beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya.' Sesungguhnya, ucapan itu dapat menghilangkan waswas syaithan itu." (Shahih, HR Ahmad [VI/258] dan Ibnu Hibban dalam al-Mawarid [41].


Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radiyallaahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda, "Sesungguhnya syaithan mendatangi salah seorang dari kamu, lalu berkata, 'Siapakah yang telah menciptakan ini? Siapakah yang telah menciptakan itu?' Hingga syaithan berkata kepadanya: 'Siapakah yang menciptakan Rabb-mu?' Jika sudah sampai demikian, maka hendaklah ia berlindung kepada Allah dengan mengucapkan isti'adzah dan berhenti." (HR Bukhari [3276] dan Muslim [134]).


Dari jalur lain diriwayatkan dengan lafadzh. "Hampir tiba masanya orang-orang saling bertanya sesama mereka. Sehingga ada yang bertanya, 'Allah telah menciptakan ini dan itu, lalu siapakah yang menciptakan Allah?' Jika mereka mengatakan seperti itu, maka bacakanlah, 'Katakanlah: 'Dialah Allah, Yang Maha Esa.' Allah adalah Ilah yang bergantung kepada-Nya segala urusan. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.' (Al-Ikhlas: 1-4). Kemudian, hendaklah ia meludah ke kiri sebanyak tiga kali, lalu berlindung kepada Allah dari gangguan syaithan dengan mengucapkan isti'adzah." (HR Abu Dawud [4732], An-Nasa'i dalam 'Amalul Yaum wal Lailah [460], Abu Awanah [I/81-82], Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhiid [VII/146]).


Diriwayatkan dari Anas bin Malik Radiyallaahu 'anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Allah Subhaanahu wa ta'aala berfirman, 'Sesungguhnya ummatku akan terus-menerus bertanya apa ini, apa itu?' Hingga mereka bertanya, 'Allah telah menciptakan ini dan itu lalu siapakah yang menciptakan Allah'" (HR Muslim [136]).


Dalam riwayat lain ditambahkan, "Pada saat seperti itu mereka tersesat." (Shahih, HR Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah [647]).


Kandungan :

Allah Subhaanahu wa ta'aala telah menganjurkan dalam Kitab-Nya agar berfikir dan bertadabbur. Anjuran ini ada dua macam.
Pertama, anjuran mentadabburi ayat-ayat Al-Qur'an dan ayat-ayat-Nya yang dapat disimak.

Agar seorang hamba dapat memahami maksud Allah swt dan dapat meyakini kehebatan atau Al-Qur'an sebagai Kalamullah dan mukjizat yang tidak ada kebathilan di dalamnya, dari depan maupun dari belakang. Sebagaimana yang Allah Subhaanahu wa ta'aala firmankan, "Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur-an? kalau kiranya al-Qur-an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (An-Nisaa': 82).

"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci?"(Muhammad: 24).

Kedua, anjuran memikirkan keagungan ciptaan Allah, kerajaan dan kekuasaan-Nya, serta ayat-ayat yang dapat disaksikan, agar seorang hamba dapat merasakan keagungan al-Khaliq, dapat mengakui Al-Qur'an. Sebagaimana yang Allah Subhaanahu wa ta'aala firmankan, "Katakanlah, 'Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.'" (Yunus: 101).

"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka, bahwa Al-Qur'an itu benar. Dan apakah Rabbmu tidak cukup (bagi kamu), bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu." (Fushshilat: 53).

Memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah 'Azza wa Jalla yang dapat disaksikan dan mentadabburi ayat-ayat Allah yang dapat disimak tidaklah dibatasi dengan keadaan atau waktu tertentu seperti yang dibuat-buat oleh kaum sufi atau ahli kalam, dengan menggunakan istilah renungan pemikiran dan lainnya, dalilnya adalah firman Allah Subhaanahu wa ta'aala, "(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), 'Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (Ali 'Imran: 191).

 Dzat Allah tidak akan bisa terjangkau oleh akal pikiran dan tidak akan bisa dikira-kirakan. Allah Subhaanahu wa ta'aala berfirman, "Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya." (Thaahaa: 110). Karena Dzat Allah Maha Agung dan Maha Tinggi dari kandungan permisalan dan qiyas. "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang penglihatan itu." (Al-An'aam: 103).

Dan bagi al-Khaliq, tidak ada penyerupaan, tandingan dan juga permisalan, "Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia." (Al-Ikhlash: 4). Oleh sebab itulah melalui lisan Rasul-Nya, Allah Yang Mahabijaksana melarang berfikir tentang Dzat-Nya Yang Mahasuci.

Berfikir tentang Dzat Allah akan menggiring pelakunya kepada keragu-raguan tentang Allah. Dan siapa saja yang ragu tentang Allah, pasti binasa. Sebab ia akan dicecar oleh pertanyaan-pertanyaan membingungkan yang lahir dari permikiran sesat, "Allah menciptakan ini dan itu lalu siapakah yang menciptakan Allah?" Pertanyaan itu pada hakikatnya sangat kontradiktif dan kabur maksudnya. Sebab Allah adalah Pencipta bukan makhluk! Allah Subhaanahu wa ta'aala berfirman, "Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan." (Al-Ikhlash: 3).

 Penyatuan dan perkara yang saling kontradiktif adalah sebuah kekeliruan, bahkan sebuah kemustahilan dan ketidak mungkinan. Karena kesamaran itulah, syaithan menerobos masuk ke dalam hati manusia sehingga mereka ragu tentang Allah. Pertanyaan itu pada hakikatnya menyamakan Allah (al-Khaliq) dengan makhluk. Tanpa ragu lagi. Makhluk pasti ada yang menciptakannya. Akan tetapi pertanyaan tidak berhenti sampai di situ, bahkan dilanjutkan dengan pertanyaan tentang siapa yang menciptakan Pencipta. Maka, jatuhlah ia dalam penyerupaan al-Khaliq dengan makhluk, wal 'iyaadzubillaah.

Pengobatan untuk waswas Iblis dan pemikiran-pemikiran syaithan ini, yaitu mengikuti tata cara Al-Qur'an dan As-Sunnah yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam:Membaca surat Al-Ikhlash.Meludah ke kiri sebanyak tiga kali.Berlindung kepada Allah swt dari gangguan syaitan yang terkutuk dengan membaca isti'adzah.Mengatakan, "Aku beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya.:Memutus waswas dan menghentikan keraguannya.

 Bimbingan Nabawi tadi merupakan cara yang paling mujarab untuk mengobati penyakit waswas dan lebih ampuh untuk memutusnya daripada cara jidal (perdebatan) logika yang sempit yang pada umumnya malah membuat orang bingung. Hendaklah orang yang waras akalnya memperhatikan benar sabda Nabi, "Sesungguhnya hal itu dapat menghilangkannya."
Jadi, siapa saja yang melakukannya semata-mata ikhlas karena Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya, maka syaithan pasti lari.

Kaum Salafush Shalih menerapkan metodologi Al-Qur'an dalam memutus waswas ini. Diriwayatkan dari Abu Zumail, ia berkata, "Aku bertanya kepada Ibnu Abbas Rodiyallaahu 'anhu, kukatakan padanya, 'Ada suatu perkara yang terlintas dalam hatiku.'" "Apa itu?" tanya beliau. "Demi Allah, aku tidak ingin membicarakannya!" jawabku pula. Beliau berkata, "Adakah itu sesuatu yang membuatmu ragu?" Beliau tersenyum, lalu berkata, "Tidak ada seorang pun yang terhindar dari hal itu. Namun Allah Subhaanahu wa ta'aala telah menurunkan firman-Nya, "Maka, jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca al-Kitab sebelum kamu." (Yunus: 94) Lalu ia berkata kepadaku, "Jika engkau merasakan sesuatu yang meragukan di dalam hati, maka katakanlah, 'Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.'" (Al-Hadiid: 3). (Shahih, HR Abu Daud [5110]).

Berkata Al Imam Al Barbahari Rahimahullahu Ta’aala:


والفكرة في الله بدعة لقول رسول الله صلى الله عليه وسلم تفكروا في الخلق ولا تفكروا في الله فإن الفكرة في الرب تقدح الشك في القلب


Dan memikirkan tentang Allah Azza wajalla adalah bid’ah berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam,


Syaikh 'Allamah Ahmad bin Yahya An Najmi berkata:

Ucapan beliau (Al Imam Al Barbahari Rahimahullah) ini, yakni hadits ini, dikatakan oleh Mu’aliq (yakni Al Qahthani) dikeluarkan oleh Abu Syaikh, dan hadits ini adalah hadits dha’if. Hal ini disebutkan oleh Syaikh Al Albani Rahimahullah dalam kitab Dho’iful Jami’ no. 2480 akan tetapi beliau shahihkan dalam kitab Shahihul Jami’ (3/49) dan beliau menyebutkan bahwa hadits ini Hasan. Lihatlah kitab Silsilah Al hadits As Shahihah (4/395). Aku katakan (Al Qahthani), “Penshahihan hadits ini perlu diteliti kembali, bisa jadi ini adalah ucapan sebagian ulama salaf“.


Aku (Syaikh Ahmad An Najmi) katakan: Berpikir tentang Allah Azza wajalla, yakni memikirkan dzat Allah Azza wajalla tidak selayaknya untuk dilakukan. Sebab apabila seorang hamba itu berpikir, maka dia berpikir dengan apa yang tergambar oleh akalnya dan apa yang terbetik dalam benaknya dari hal-hal yang terlihat, terdengar, dan diketahui. Sedangkan Allah 'Azza wajalla berada di atas itu semua. Tidak layak bagi seorang pun untuk memikirkan dzat Allah 'Azza wajalla, sebab tatkala ia menggambarkan sesuatu tentang dri Allah 'Azza wajalla maka Allah 'Azza wajalla berbeda dengan apa yang ia gambarkan dan cukup bagi kita berpikir tentang makhluk-makhluk-Nya, dan tentang kekuasaan-Nya yang luar biasa.


Kalau seandainya seseorang itu mau memikirkan tentang asal kejadiannya sendiri niscaya hal itu telah cukup baginya. Hendaknya dia memikirkan bagaimana Allah 'Azza wajalla mengubah air mani, yang darinya Allah 'Azza wajalla menciptakan makhluk yang agung ini, dan bagaimana Allah 'Azza wajalla mengubah air mani yang darinya Allah 'Azza wajalla menciptakan berbagai jenis hewan dan bagaimana Allah 'Azza wajalla mempersiapkan segala sesuatu dari makhluk-makhluk ini untuk tujuan tertentu. Allah 'Azza wajalla mempersiapkan sapi untuk mengolah tanah pertanian dan Allah 'Azza wajalla mempersiapkan unta untuk kendaraan dan yang lainnya dari hal-hal yang kita saksikan dan kita ketahui. Yang Kuasa mengubah air mani tersebut, dari air mani menjadi manusia dan menjadi hewan, bukankah yang mampu melaksanakan hal itu adalah Ar Rabb Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu?! Tentu, dan kita termasuk orang-orang yang menyaksikan akan hal itu.


Yang jelas, bahwasanya berpikir itu selayaknya diarahkan kepada ciptaan Allah 'Azza wajalla bukan pada dzat Allah 'Azza wajalla. hendaknya kita membaca firman Allah,


فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الأنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ


“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy Syuuraa: 11)


Wajib bagi kita untuk berserah diri menerima ayat ini, sehingga akal kita tidak meraba-raba sesuatu yang tidak layak untuk dipikirkan. Apabila Surga saja di dalamnya terdapat kenikmatan yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga, dan belum pernah terbetik dalam hati seseorang padahal itu adalah makhluk Allah 'Azza wajalla, lantas bagaimana dzat Allah?! Wabillahit t

Senin, 22 Oktober 2018

*Iman Kepada Allah Syarah Tarjih Muhammadiyah*



IMAN KEPADA ALLAH YANG MAHA MULIA



Oleh Zulkarnain El Madury

*Matan HPT :*
الإِيْمَانُ بِا للهِ عَزَّ وَجَلَّ


*Matan kewajiban beriman kepada Allah*

يَجِبُ عَلَيْنَا اَنْ نُؤْمِنَ بِا للهِ رَبِّنَا (4)

*Matan Wajib kita percaya akan Allah Tuhan kita (4).*

(4) فَآمِنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَالنُّورِ الَّذِي أَنْزَلْنَا وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (التّغابن: 8 )

(4) “Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasulnya serta cahaya (Quran) yang telah aku turunkan. Dan Allah maha mengetahui akan perbuatanmu”. (Thaghabun:8).

*Syarah*

IMAN adalah proses kejiwaan yang berhubungan dengan segenap dimensi rohani yang meliputi akal keinginan dan perasaan manusia, oleh karena itu dalam iman perlu adanya getaran jiwa yang dengan itu seseorang bisa menyingkap hakikat wujud.

Sesuai dengan kenyataan yang ada, hakikat wujud ini tidak dapat tersingkap kecuali melalui wahyu Allah yang suci. Dalam hal ini pemahaman penyingkapan akal harus mencapai batas kepastian, keyakinan yang kokoh, dan tak tergoyahkan, serta tidak dicemari keraguan dan kekaburan sedikitpun. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya orang orang yang beriman hanyalah orang orang yang beriman kepada Allah dan rasulnya kemudian mereka tidak ragu-ragu  (QS Al Hujurat :15)

Pemahaman dan pengetahuan yang kokoh ini harus diiringi kesadaran hati, dan keinginan yang terwujud pada sikap yang tunduk dan taat pada hukum Allah SWT, serta kerelaan atas keputusannya dan penyerahan diri kepada-Nya.

Kesadaran semacam ini, menurut Yusuf Alqardawi dalam bukun Al Iman Wa Al hayah, merupakan kecenderungan hati yang dapat menjadikan seseorang berbuat sesuai dengan tuntutan aqidah, berpegang teguh pada prinsip-prinsip akhlak, dan amal saleh, serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya.

Iman begitu amat penting dalam berkehidupan betapa menderitanya seorang hamba yang tanpa didasari iman yang kokoh lagi kuat, sosok demikian biasanya lebih cenderung pada hal-hal yang justru jauh dari rahmat sang pencipta alam semesta, belum lagi kegundahan jiwa kehampaan qolbu dan sedikitpun tidak ada pencerahan ilahi dalam hatinya. 

Iman perlu tertanam kokoh dalam sanubari setiap hamba karena dengan iman yang tertanam kokoh akan memberikan pencerahan dan menerangi kehidupan dengan pancaran cahayanya dapat memberikan pengaruh luar biasa terhadap seluruh dimensi kehidupan serta menjadikan seorang hamba menyandang ciri ketuhanan baik dari segi pemikiran pemahaman perasaan akhlak maupun aturan.

Iman yang dituntut untuk kehidupan bukan sekadar slogan yang digemakan dan manis dibibir saja namun yang dimaksud adalah aturan kehidupan yang sempurna sebagai seorang hamba. Dan dapat menjadikan pencerahan bagi kehidupan yang akan menerangi pikiran perasaan dan keinginan seorang hamba dalam kehuidupanya. Dalam hal ini iman yang demikian akan merubah sifat manusia dari sosok yang hina dan lemah menjadi makhluk tuhan yang memiliki tekad, misi, tujuan kemuliaan dan kekuatan.

Tak dapat dipungkiri bahwa keimana memiliki dampak yang signifikan dan begitu penting untuk kehidupan yang mencerahkan yaitu. Iman merupakan landasan kebahagiaan.

Kebahagian merupakan tuntutan sekaligus tujuan hidup setiap individu dengan iman manusia akan diliputi kebahagiaan hidup walaupun berbagai cobaan hinggap namun karena iman justru menjadikannya bagian dari kesabaran. Iman merupakan pondasi bagi ketenangan jiwa dan hati.

Allah berfirman: Dialah yang telah menurunkan ketenangan dalam hati orang orang mukmin supaya keimanan  mereka bertambah disamping keimanan mereka yang telah ada (QS Al Fath: 4)

Iman membebaskan jiwa dari pengaruh orang lain, Iman menumbuhkan keyakinan tentang rezeki. Allah berfirman: Dan tidak ada satu binatang melatapun  dibumi melainkan Allah  lah yang memberikan rezekinya dan dia mengetahui tempatnya berdiam binatang itu dan tempat penyimpananya semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Qs hud: 6).

Iman memberikan kehidupan yang baik, kehidupan yang Allah persembahkan bagi yang beriman di dunia. Allah berfirman: Barang siapa mengerjakan amal saleh baik laki  laki maupun  perempuan dalam kesadaran dan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih dari apa yang mereka kerjakan. (Qs an Nahl :97)

Dengan demikian begitu penting iman dalam berkehidupan terlebih kehidupan yang penuh dengan pencerahan. semoga dapat memberikan sedikit referensi dalam menjadikan iman sebagai pondasi kehidupan kita



*Dalil-Dalil Tentang Iman Kepada Allah*
*Firman Allah SWT:*


1. Allah Subhanahuwata`ala sendiri memberitakan tentang wujudNya, tentang rububiyahNya atas makhlukNya dan tenang asma`Nya (nama-namaNya) dan sifat-sifatNya. Berita tersebut ada di dalam Kitab Suci Al-Qur`an. Diantaranya adalah firmanNya,


إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang Telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia bersemayam di atas ‘Arsy. dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-A`raf : 54)

Juga firmanNya tatkala Dia menyeru Nabi Musa `alaihissalam dari sebatang pohon, ditepi kanan sebuah lembah, disuatu tempat yang diberkahi,


فَلَمَّا أَتَاهَا نُودِيَ مِنْ شَاطِئِ الْوَادِ الأيْمَنِ فِي الْبُقْعَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ الشَّجَرَةِ أَنْ يَا مُوسَى إِنِّي أَنَا اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang sebelah kanan(nya) pada tempat yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, yaitu: “Ya Musa, Sesungguhnya Aku adalah Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Qashash : 30)

Juga firmanNya dalam mengagungkan diriNya serta menyebutkan nama-nama dan sifat-sifatNya,


هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ. هُوَ اللَّهُ الَّذِي لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ.هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ.

“Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, raja, yang Maha suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al- Hasyr : 22-24)

Juga firmanNya di dalam membatalkan klaim adanya rabb selain Dia, atau adanya Ilah (sesembahan) selain Dia di langit dan di bumi,


لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلا اللَّهُ لَفَسَدَتَا فَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ

“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu Telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arsy daripada apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al-Anbiya : 22)

2. Berita dari lebih 124.000 nabi dan rasul tentang wujud Allah Subhanahuwata`ala, rubububiyahNya bagi semesta alam, tentang penciptaanNya terhadap alam semesta ini dan penguasaanNya; dan tentang asma` dan sifat-sifatNya. Tiada seorang Nabi atau rasul pun diantara mereka melainkan Allah Subhanahuwata`ala telah mewahyukan kepada hati dan akalnya sesuatu yang memastikan bahwa apa yang disampaikanNya adalah firman (kalam) dan wahyu dari Allah 

Subhanahuwata`ala kepadanya. Berita yang disampaikan oleh sejumlah besar manusia pilihan tersebut tidak memungkinkan bagi akal sehat untuk mendustakannya, sebagaimana tidak mungkin jumlah sebesar itu sepakat untuk berdusta dan menyampaikan berita tentang sesuatu yang tidak mereka ketahui, tidak mereka yakini dan tidak memastikan kebenarannya, padahal mereka adalah manusia pilihan, manusia yang paling suci jiwanya, paling cerdas akal pikirannya dan paling benar pembicaraannya.

3. Keyakinan dan kepercayaan milyaran manusia tentang wujud (adanya) Tuhan Penciptaan alam semesta serta ibadah dan ketundukan mereka kepadaNya. Padahal kebiasaan manusia itu berlaku hanya dengan diyakininya oleh satu orang atau dua orang saja, apalagi kalau diyakini oleh sekelompok, satu umat dan jumlah manusia yang tidak terhitung, ditambah dengan kesaksian akal dan fitrah atas validitas (keshahihan) Tuhan yang mereka yakini dan mereka beritakan, dan mereka beribadah serta bertaqarub (mendekatkan diri) kepadaNya.

4. Berita yang disampaikan oleh jutaan ulama tentang wujud Allah Subhanahuwata`ala, sifat-sifat dan nama-namaNya, rububiyahNya atas segala sesuatu, kekuasaanNya atas segala sesuatu, maka dari itu mereka beribadah, menyembah dan patuh kepadaNya, cinta karenaNya dan benci karenaNya pula.


Wahai orang yang beriman; berimanlah kamu kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad SAW), kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya dan kitab yang telah diturunkan sebelumnya. Barangsiapa kafir (tidak beriman) kepada Allah, malaikat-Nya. kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan Hari Akhirat, maka sesungguhnya orang itu sangat jauh tersesat. QS. an-Nisaa' (4): 136.

Dan Tuhan itu, Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Dia. Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. QS. al-Baqarah (2): 163.

Allah itu tunggal, tidak ada Tuhan selain Dia, yang hidup tidak berkehendak kepada selain-Nya, tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya lah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Bukankah tidak ada orang yang memberikan syafaat di hadapan-Nya jika tidak dengan seizin-Nya? Ia mengetahui apa yang di hadapan manusia dan apa yang di belakang mereka, sedang mereka tidak mengetahui sedikit jua pun tentang ilmu-Nya, kecuali apa yang dikehendaki-Nya. Pengetahuannya meliputi langit dan bumi. Memelihara kedua makhluk itu tidak berat bagi-Nya. Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. QS. al-Baqarah (2): 255.

Dialah Allah, Tuhan Yang Tunggal, yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui perkara yang tersembunyi (gaib) dan yang terang Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dialah Allah, tidak tidak ada Tuhan selain Dia, Raja Yang Maha Suci, yang sejahtera yang memelihara, yang Maha Kuasa. Yang Maha Mulia, Yang Jabbar,lagi yang Maha besar, maha Suci Allah dari segala sesuatu yang mereka perserikatkan dengannya. Dialah Allah yang menjadikan, yang menciptakan, yang memberi rupa, yang mempunyai nama-nama yang indah dan baik. Semua isi langit mengaku kesucian-Nya. Dialah Allah Yang Maha keras tuntutan-Nya, lagi Maha Bijaksana. QS. al-Hasyr (59): 22-24


Dalam Surat Al-Ikhlash, yang mempunyai arti:
"Katakanlah olehmu (hai Muhammad): Allah itu Maha Esa. Dialah tempat bergantung segala makhluk dan tempat memohon segala hajat. Dialah Allah, yang tiada beranak dan tidak diperanakkan dan tidak seorang pun atau sesuatu yang sebanding dengan Dia." QS. al-Ikhlash (112): 1-4.

*Sabda RasululIah Shallallahu ‘alaihi wasallam:*

Di antara sejumlah hadits-hadits tersebut, terdapat sebuah hadits masyhur yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan bahwa Malaikat Jibril pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Iman, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

“Iman itu adalah engkau beriman kepada Allah, Malaikat-MalaikatNya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, dan Hari Akhir, serta beriman kepada qadar yang baik maupun buruk.”
“Katakanlah olehmu (wahai Sufyan, jika kamu benar-benar hendak memeluk Islam): ‘Saya telah beriman akan Allah’, kemudian berlaku luruslah kamu.” (HR. Taisirul Wushul, 1: 18).
“Manusia yang paling bahagia memperoleh syafaat-Ku di hari kiamat, ialah: orang yang mengucapkan kalimat La ilaha illallah.” (HR. Muslim, Taisirul Wushul, 1: 12).

“Barangsiapa mati tidak memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti masuk surga. Dan barangsiapa mati tengah memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti masuk neraka.” (HR. Muslim, Taisirul Wushul, 1: 12)

Pengertian Iman Kepada Allah

Iman kepada Allah ialah:

1. Membenarkan dengan yakin akan adanya Allah;
2. Membenarkan dengan yakin akan keesaan-Nya, baik dalam perbuatan-Nya menciptakan alam makhluk seluruhnya, maupun dalam menerima ibadat segenap makhluk-Nya;
3. Membenarkan dengan yakin, bahwa Allah bersifat dengan segala sifat sempurna, suci dari segala sifat kekurangan dan suci pula dari menyerupai segala yang baharu (makhluk).

Demikianlah pengertian iman akan Allah, yang masing-masing diuraikan dalam pasal-pasal yang akan datang. Dan orang yang beriman kepada Allah menerima apapun yang datang dari Allah dengan penuh keyakinan bahwa yang datang dari Allah Subhana benar tanpa disertai keraguan sedikitpun. Dan untuk mengantar pada sebuah keyakinan sangat diperlukan rasa penghambaan diri kita kepada Allah melalui tafakur atau berfikir tentang semua Ciptaan Allah yang berada di alam semesta, bahwa semua yang ada dilangit dan dibumi merupakan ciptaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala bukan sekedar proses alami karena proses alam itu sendiri juga ciptaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala.


========================================
*Matan Tuhan Allah adalah Tuhan yang sebenarnya*

وَهُوَ الْإِلَهُ الْحَقُّ الَّذِى خَلَقَ كُلَّ شّيْئٍ وَهُوَ الواَجِبُ الوُجُوْدِ (5)

*Dialah Tuhan yang sebenarnya, yang menciptakan segala sesuatu dan Dialah yang pasti adanya (5).*

(5) فَذَلِكُمُ اللهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَ لُ فَأَ نَّى تُصْرَفُونَ   (يونس: 32)

(5) “Itulah Allah Tuhanmu yang hak tidak ada kebenaran di luar itu, melainkan kesesatan, maka mengapakah kamu berpaling”? (Yunus:32).
 *Syarah* 

-Quran
فَذَلِكُمُ اللهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّ فَماَذاَ بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ فَأَنَّى تُصْرَفُوْنَ

“Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah, Rabb kamu yang sebenarnya. Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (Yunus: 32)

Penjelasan Mufradat Ayat

فَذَلِكُمُ اللهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّ

“Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah, Rabb kamu yang sebenarnya”

Ayat ini menyebutkan tiga dari nama Allah k, yaitu (nama) Allah yang mengandung sifat uluhiyyah bagi-Nya, Ar-Rabb yang mengandung sifat Rububiyyah baginya, dan Al-Haq yang mengandung sifat kebenaran tentang wujud-Nya, kebenaran tentang firman-Nya, syariat-Nya, dan seluruh janji-Nya. Allah telah memberi nama dirinya dengan “Al-Haq” dalam berbagai tempat dalam Al Qur`an, seperti firman-Nya:

ذَلِكُمُ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّهُ يُحْيِي الْمَوْتَى وَأَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

“Yang demikian itu, karena sesungguhnya Allah, Dialah yang haq dan sesungguhnya Dialah yang menghidupkan segala yang mati dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Haj: 6)

فَتَعاَلَى اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيْمِ

“Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang haq; tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia, Rabb (Yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia.” (Al-Mukminun: 116)
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dari hadits Abdullah bin Abbas c bahwa Rasulullah n bersabda:

أَنْتَ الْحَقُّ وَقَوْلُكَ الْحَقُّ

“Engkau adalah Al-Haq dan perkataan-Mu haq.”
Al-’Allamah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t memasukkan Al-Haq di antara nama-nama Allah. (lihat Al-Qawa’idul Mutsla: 21)

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Al-Haq pada dzat dan sifat-Nya. Sehingga Dia adalah wajibul wujud (keberadaan-Nya adalah wajib), sempurna sifat-Nya, wujud-Nya adalah kelaziman dzat-Nya, dan tidak terwujud segala sesuatu kecuali dengan-Nya. Dialah yang senantiasa memiliki sifat keagungan, keindahan, kesempurnaan, dan senantiasa berbuat kebaikan. Firman-Nya adalah haq, perbuatannya haq, pertemuan dengan-Nya adalah haq, para Rasul-Nya adalah haq, kitab-kitab-Nya adalah haq, agamanya haq, beribadah hanya kepadanya adalah haq, dan segala sesuatu yang dinisbahkan kepadanya adalah haq.” (lihat Shifatullah, tulisan As-Saqqaf hal. 120)

PENGERTIAN ILAH

Kata ” ILAH ” dalam kalimah syahadat ” LAA ILAAHA ILLALLAH “ adalah setiap sesuatu yang disembah, baik yang disembah itu haq atau bathil, berhak untuk diibadahi atau tidak. Sedangkan kata ” ALLAH “ dinisbatkan sebagai ILAH yang haq.  Ada 5 (lima) pengertian dari kata ” ILAH “ yang terdapat pada syahadat “LAA ILAAHA ILLALLAH”, yaitu :

1. ILAAH memiliki arti patung atau berhala. Dalam al-Qur’an banyak dipakai istilah “ILAAH” yang berarti patung atau berhala. Firman Allah SWT ( Qs. 6:74) : Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.”

2. ILAAH diistilahkan untuk manusia yang melampaui batas dan berbuat aniaya kepada manusia. Atau seseorang yang memperbudak manusia dan merendahkan mereka agar tunduk pada kekuasaannya. Ia membuat aturan / hukum yang tidak sesuai aturan dari Allah dan Rasul-Nya dan memaksa agar manusia mentaatinya. Sebagaimana perkataan Fir’aun La’natullah a’laih yang disebutkan Allah dalam al-Qur’an (Qs. Al-Qashas : 38) dan ( Qs. Asy-Syu’ara:29 ) : Dan berkata Fir’aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah Hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang Tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan Sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa Dia Termasuk orang-orang pendusta”.

3. ILAAH juga diistilahkan untuk manusia yang berlebihan diagungkan dan dikultuskan hingga menyamai kedudukan Allah. Sebagaimana orang-orang Nasrani yang mengkultuskan Isa putra Maryam. Firman Allah ( Qs.Al-Maidah:116-117) : Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai Isa putera Maryam, Adakah kamu mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang Tuhan selain Allah?”. Isa menjawab: “Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). jika aku pernah mengatakan Maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib-ghaib”. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya Yaitu: “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu”, dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan Aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. dan Engkau adalah Maha menyaksikan atas segala sesuatu.

4. ILAAH juga berarti nafsu. Manusia akan menjadi buta dan tuli dari kebenaran serta akan terseret mengikuti syahwatnya bila nafsu telah menguasainya sehingga tenggelam dalam kemaksiatan. Allah berfirman ( Qs.Al-Furqon:43 ) dan (Qs.al-Jatsiyah:23 ) : Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?,

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

5. ILAAH juga diistilahkan untuk menyebut ALLAH Yang Maha Pencipta. Allah SWT berfirman ( Qs.Al-Baqarah:255 ) : Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya);

Ada dua aspek yang bisa kita gali dari kalimat tauhid “LAA ILAAHA ILLALLAH“, yaitu :

Pertama, Menyakini bahwa sesungguhnya Allah SWT yang tiada sekutu bagi-Nya adalah satu-satunya Pencipta, Pengatur, dan Pemberi Rezeki, Yang Menghidupkan dan Mematikan, Yang Memiliki Kemanfa’atan dan Kemudharatan serta Yang mengabulkan do’a bagi yang berdo’a kepada-Nya dan Yang memberi petunjuk kepada manusia.

Kedua, Meng-esakan Allah SWT dalam hal ibadah (ketundukan dan kepatuhan). Memurnikan ibadah ( ketundukan dan kepatuhan ) secara mutlak kepada Allah terjadi dengan tiga hal ;

1. Tidak mencari ILAH (sesembahan)  lain untuk diagungkan kecuali Allah, karena itu segala sesuatu yang oleh manusia dijadikan sebagai ILAH yang mereka sembah dan agungkan harus sirna dan dihilangkan.  Allah SWT berfirman : ”Katakanlah: “Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, Padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu….” (Qs. Al-An’am : 164 )

”…dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah”.(Qs. Ali Imran : 64)

2. Hendaknya tidak menjadikan selain Allah wali ( Pelindung, Pemimpin ). Karena konsekwensi tauhid yang benar adalah menuntut seseorang memurnikan cintanya kepada Allah dan tidak menjadikan wali atau pesaing yang ia cintai sebagaimana cintanya kepada Allah. Sebab cinta kasih, pelindung dan kesetiaan hanyalah untuk Allah semata dan Rasul-Nya.  Firman Allah : Atau Patutkah mereka mengambil pelindung-pelindung selain Allah? Maka Allah, Dialah pelindung (yang sebenarnya) dan Dia menghidupkan orang- orang yang mati, dan Dia adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu. ( Qs.Asy-Syura : 9 )

3. Tidak mencari hakim (pemutus hukum) selain Allah dan Rasul-Nya yang ditaati, karena itu tidak sepantasnya seorang mukmin berhukum kepada selain hukum Allah dan Rasul-Nya.  Allah  SWT berfirman ( Qs. Al-an’am:114 ) : Maka Patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, Padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali Termasuk orang yang ragu-ragu.

Berhukum kepada selain hukum Allah dan Rasul-Nya berarti telah keluar dari hakikat iman dan masuk dalam menta’ati syaithan. Sebagaimana firman Allah (Qs.An-Nisa : 60) : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut, Padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.

=====================================
*Matan Tanpa Awal Dan Akhir*

وَ اْلأَوَّلُ بِلاَ بِدَايَةٍ وَاْلآخِرُ بِلاَ نِهَايَةٍ (6)

*Dialah yang pertama tanpa permulaan dan yang akhir tanpa penghabisan (6).*

(6) هُوَ الأَوَّلُ وَالآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (الحديد: 3)

(6) “Dialah yang Awal dan Yang akhir, yang Dhahir dan yang   bathin dan Dia mengetahui segala sesuatu.”(Hadid:3).
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ. وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَام ِ(الرحمن: 26-27)

“Segala yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap Kekallah tuhanmu yang maha agung dan maha mulia”. (Rahman : 26-27)
 *Syarah*

هُوَ اْلأَوَّلُ وَاْلأَخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

Dialah Allah, Al-Awwal (Yang Pertama) dan Al-Akhir (Yang Akhir), Azh-Zhahir (Yang paling atas/zhahir) dan Al-Bathin (Yang paling bathin). Dan Dia ‘Aliim (Maha mengetahui) terhadap segala sesuatu. [Al-Hadid : 3]

Imam Ibnu Katsir menegaskan dalam Kitab Tafsirnya: “Ayat ini adalah ayat yang diisyaratkan dalam hadits ‘Irbadh bin Sariyah bahwasanya merupakan ayat yang lebih utama dari seribu ayat”.[3]

Hadits yang semakna diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam sunannya.

عَنْ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَنَامُ حَتَّى يَقْرَأَ الْمُسَبِّحَاتِ وَيَقُولُ فِيهَا آيَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ آيَةٍ

Dari Al Irbadh bin Sariah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tidur sampai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca al musabbihat (surat-surat yang diawali dengan sabbaha) dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Didalamnya terdapat satu ayat yang lebih baik dari seribu ayat. [4]

Sementara, tentang makna empat nama dalam ayat tersebut, tidak ada tafsirnya yang lebih baik daripada tafsir yang dikemukakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda ketika mengajarkan sebuah doa tidur, yang penggalannya sebagai berikut:

اَللَّهُمَّ أَنْتَ الأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَيْءٌ

Ya Allah, Engkau adalah Al-Awwal (Yang pertama), maka tidak ada sesuatupun sebelum-Mu. Engkau adalah Al-Akhir (Yang akhir), maka tidak ada sesuatupun yang sesudah-Mu. Engkau adalah Azh-Zhahir (Yang paling atas), maka tidak ada sesuatupun yang ada di atas-Mu. Dan Engkau adalah Al-Bathin (Yang paling Bathin), maka tidak ada sesuatupun yang lebih lembut/lebih bathin daripada-Mu

Suatu tafsir yang ringkas, padat dan jelas. Nama-nama yang menunjukan bahwa Allah Maha meliputi segala sesuatu, baik ruang maupun waktu.

Pada nama Allah : Al-Awwal dan al-Akhir, menunjukkan betapa Dia Maha meliputi seluruh waktu dengan segala bagian-bagiannya, semenjak waktu pertama hingga waktu kapanpun. Sedangkan nama; Azh-Zhahir dan al-Bathin menunjukkan betapa Dia Maha meliputi seluruh ruang dan tempat dengan segala bagian-bagiannya.

Tidak ada satu bagian waktu sesedikit apapun kecuali berada dalam pengetahuan, penglihatan, kekuasaan dan kewenangan Allah. Begitu pula tidak ada satu tempat sekecil apapun kecuali berada dalam pengetahuan, penglihatan, kekuasaan dan kewenangan-Nya.

Tidak ada satupun pelaku yang melakukan kemaksiatan di satu kurun waktu tertentu, kapanpun dan di tempat manapun, baik yang tersembunyi ataupun terbuka, di dasar laut atau di permukaannya, di langit, di bumi atau di manapun, kecuali pasti di lihat, di awasi dan berada dalam kekuasaan serta ancaman hukum Allah Azza wa Jalla.

Demikian juga, tidak ada satupun pelaku yang menegakkan kebenaran serta ketaatan kepada Allah, di satu kurun waktu tertentu, kapanpun serta di tempat manapun; di darat, laut, langit, bumi atau di manapun, kecuali pasti di lihat, di sertai, di bela dan dijanjikan balasan yang baik oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Syaikh Shalih al-Fauzan menukil perkataan Imam Ibnu al-Qoyyim tentang nama-nama Allah tersebut sebagai berikut: “Empat nama ini saling berhadap-hadapan. Dua nama saling berhadapan antara azaliyahNya (ada semenjak dahulu tanpa ada sesuatupun yang mendahului) dan abadiyahNya (kekal seterusnya /tanpa akhir). Sedangkan dua nama yang lain saling berhadap-hadapan antara Maha TinggiNya dengan Maha dekat-Nya. Awaliyah Allah Subhanahu wa Ta’ala mendahului segala awaliyah (permulaan) segenap yang selainNya. Sedangkan akhiriyah (keMaha akhiran) Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tetap terus kekal sesudah segala sesuatu yang selainNya (berakhir). Jadi awaliyah Allah adalah lebih dahulunya Allah bagi adanya segala sesuatu. Sedangkan akhiriyahNya adalah tetap kekalnya Allah, tidak ada sesuatupun yang menyudahiNya.

Adapun zhahiriyah (Maha Zhahirnya) Allah, maksudnya: Maha Atas dan Maha Tingginya Allah mengatasi segala sesuatu. Pengertian azh-zhuhur menunjukkan makna tinggi. Zhahir dari sesuatu maksudnya adalah bagian atas (permukaan) dari sesuatu itu.

Sedangkan Maha Bathin Allah maksudnya adalah, Allah Maha meliputi segala sesuatu, sehingga Allah lebih dekat kepada sesuatu dibandingkan sesuatu itu kepada dirinya. Tetapi maksud kedekatan ini adalah kedekatan dalam arti; ilmu Allah meliputi segala sesuatu”.

Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi rahimahullah juga mengemukakan hal senada ketika menerangkan perkataan Imam Thahawi dalam al-Aqidah ath-Thahawiyah…..

Pada sisi lain, Imam Ibnu al-Qoyyim rahimahullah dalam Zaad al-Ma’ad mengatakan : “Dengan ayat ini Allah menunjukkan kepada para hambaNya -berdasarkan aksioma logika- tentang batilnya jaringan mata rantai tak berpenghabisan (tasalsul) mengenai kejadian makhluk. Sesungguhnya mata rantai kejadian segenap makhluk pada permulaannya berawal dari Dzat Maha Pertama yang tidak didahului oleh sesuatupun sebelumnya. Begitu pula segenap makhluk itu akan berakhir diujungnya pada Dzat Maha Akhir yang tidak disudahi oleh sesuatupun sesudahnya.

Demikian juga, Maha Zhahirnya Allah ialah Maha Tingginya Allah yang tidak ada lagi sesuatupun di atasNya. Dan Maha BathinNya adalah Maha Meliputi hingga tidak ada sesuatupun yang berada di luar kekuasaanNya.

Empat nama Allah pada surah al-Hadid tersebut ditutup dengan firmanNya :

وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

Sedangkan Dia Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu.

Ayat ini merupakan penutup yang mempertegas secara jelas bahwa tidak ada sesuatupun, yang lepas dari pengetahuan Allah Subhanahu wa Ta’ala, meski sekecil apapun. Nama al-‘Aliim dalam penutup ayat ini merupakan penegasan dari makna yang terkandung dalam empat nama sebelumnya.

Syaikh Shalih al-Fauzan menerangkan makna bagian akhir ayat ini sebagai berikut: “Artinya, Ilmu Allah meliputi segala sesuatu, baik perkara-perkara yang sudah lewat, perkara-perkara yang kini sedang berlangsung, maupun perkara-perkara yang akan berlangsung. Baik yang terjadi di alam atas, maupun di alam bawah. Baik yang lahir maupun yang bathin. Tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari ilmu Allah meskipun hanya seberat biji atom, di darat maupun di langit.”

Dengan demikian, akankah seseorang merasa dapat bersembunyi dari pengawasan Allah?

Dari surah al-hadid ayat 3 tersebut dapat diambil beberapa faidah,di antaranya:

a. Adanya penetapan 5 nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu : al-Awwal, al-Akhir, azh-Zhahir, al-Bathin dan al-‘Aliim.

b. Lima nama Allah itu, memberi arti penetapan bagi sifat-sifat Allah. Yaitu sifat awwaliyah yang tidak didahului oleh sesuatupun sebelumnya. Sifat akhiriyah yang tidak diakhiri dengan sesuatupun sesudahnya. Sifat zhahiriyah yang tidak ada sesuatupun ada di atasNya. Sifat bathiniyah yang tidak ada sesuatupun lebih dekat dariNya. Dan sifat Maha mengetahui yang tidak ada sesutupun dapat tersembunyi dariNya. Maka segala sesuatu berada dalam pengawasan, pengetahuan dan kewenangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik waktu, tempat, ketetapan takdir maupun pengaturannya. Maha Tinggi Allah dan Maha Perkasa.

c. Disimpulkan juga, sesungguhnya sifat-sifat Allah tidak dapat dibatasi hanya dalam jumlah tertentu. Para Ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah menyatakan, jumlah sifat Allah lebih banyak dari jumlah namaNya. Sebab setiap nama Allah pasti mengandung sifat. Padahal masih banyak sifat-sifat lain yang tidak berasal dari namaNya. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menegaskan: Bab Sifat lebih luas daripada bab Asma’.

Lebih lanjut beliau memberikan contoh-contoh sifat yang darinya tidak dapat disebutkan sebagai nama Allah. Misalnya, sifat majii’ dan sifat ityaan : berarti Allah mempunyai sifat datang. Dari sifat ini Allah tidak bisa disebut al-Jaa’iy atau al-Aatiy (yang datang). Padahal Allah telah berfirman, menerangkan sifatNya:

وَجَآءَ رَبُّكَ

Dan Rabb-mu datang. [Al-Fajr : 22]

هَلْ يَنظُرُونَ إِلآَّ أَن يَأْتِيَهُمُ اللهُ فِي ظُلَلٍ مِّنَ الْغَمَامِ

Tidak ada yang mereka tunggu-tunggu selain kedatangan Allah (untuk mengadili mereka di hari kiamat) di iringi bayang-bayang awan. [Al-Baqarah : 210]

Dan contoh-contoh lain yang dibawakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.

Di samping beberapa faidah di atas, penghayatan terhadap nama-nama Allah dalam surah al-Hadid ayat 3 di atas juga dapat memberikan motivasi (dampak) berikut:

a. Dapat mencegah orang yang hendak berbuat maksiat, kejahatan atau tindakan apa saja yang akan mendatangkan murka Allah, sebab ia memahami dengan baik bahwa kemaksiatan, kejahatan serta segala tindakannya tidak dapat ia sembunyikan dari penglihatan Allah dan tidak dapat ia hindarkan dari ancaman kerasNya, kapanpun dan di manapun.

b. Dapat meningkatkan ketakwaan dan kehati-hatian dalam berbuat sesuatu sehingga memperkecil kemungkinan untuk terjerumus dalam bid’ah. Allah melalui RasulNya telah menegaskan bahwa perbuatan bid’ah adalah sesat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه مسلم فى كتاب الجمعة – باب رفع الصوت في الخطبة ومايقال فيها)

Amma Ba’du: Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang diada-adakan secara baru dalam agama, dan setiap bid’ah adalah sesat.

c. Akan menghibur seseorang untuk tidak bersedih dan khawatir menghadapi tantangan ketika ia melakukan ketaatan, sebab ia yakin bahwa Allah senantiasa melihat sepak terjangnya yang di ridhai Allah, dan Allah senantiasa akan menyertainya dengan pertolongan serta perlindunganNya. Sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Allah kepada Musa dan Harun ketika menghadapi Fir’aun. FirmanNya:

قَالَ لاَتَخَافَآ إِنَّنِي مَعَكُمَآ أَسْمَعُ وَأَرَى

Allah berfirman: “Janganlah kamu berdua takut. Sebab sesungguhnya Aku menyertai kamu berdua. Aku mendengar dan Aku melihat. [Thaha : 46]

Yang dimaksud dengan kesertaan Allah kepada Musa dan Harun pada ayat diatas adalah kesertaan dalam arti penjagaan, perlindungan dan pertolonganNya



*Matan Tidak Ada yang serupa denganNya*

*ولاَ يُشْبِهُهُ شَيئٌ مِنَ الكَائِنَاتِ (7)*
*Tiada sesuatu yang menyamai-Nya (7).*


(7) فَاطِرُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير ُ(الشورى: 11)

(7) “Yang menciptakan langit dan bumi. Diapun menjadikan dari jenismu berjodohan (berpasang-pasangan), begitu juga dari binatang ternak (diciptakan) berpasangan, yang Dia perkembangkan diatas bumi. Tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya dan Dialah maha mendengar dan maha melihat.” (Syura:11).

Syarah

 Umat Islam bersepakat (ijmak) keyakinan bahwa Allah Ta’ala mempunyai sifat sangat sempurna. Dan Dia terlepas dari semua kekurangan sedikitpun juga. Perkataan para ulama Islam mutawatir mensifati Allah Ta’ala dengan kesempurnaan mutlak. Diantara hal itu adalah perkataan SyaikhulIslam Ibnu Taimiyah rahimahullah ta’ala, “Kesempurnaan merupakan ketetapan untuk Allah. Bahkan yang tetap untuk-Nya puncak dari kesempurnaan yang menyeluruh. Dimana adanya kesempurnaan yang tidak ada kekurangannya kecuali Dia yang tetap untuk Tuhan yang berhak untuk Dirinya yang Maha suci. Penetapaan hal itu mengharuskan meniadaakan kebalikannya. Sehingga menetapkan Maha Hidup mengharuskan meniadakan kematian. Dan menetapkan ilmu mengharuskan meniadakan ketidak tahuan. Dan menetapkan kemampuan mengharuskan meniadakn kelemahan. Bahwa kesempurnaan ini tetap bagi-Nya dari sisi dalil akal dan dalil keyakinan. Disertai dalil-dalil sam’I –maksudnya nash wahyu- akan hal itu.” (Majmu Fatawa, 6/71).

Beliau mengatakan, “Ijma’ telah ada bahwa Allah Ta’ala tidak disifati dengan selain sifat sempurna.” Selesai dari ‘Bayan Talbis Jahmiyah, (2/330). Beliau menambahi, “Yang memperjelas lagi masalah itu adalah bahwa orang Islam bersepakat membersihkan Allah dari aib dan kekurangan. Bahwa Dia mempunyai sifak sempurna. Akan tetapi terkadang masih diperselisihkan sebagain masalah. Apakah kekurangan dalam penetapannya atau dalam peniadaannya akan metode mengetahui akan hal itu.”  (Minhaj Sunah Nabawiyah, 2/563).

Beliau juga mengatakan, “Dan diketahui bahwa telah ada ijmak tentang sucinya Allah dari sifat kurang mencakup kesucian dari semua kekurangan dari sifat perbuatan (fi’liyah) dan bukan perbuatan (non fi’liyah).” (Dar’u Ta’arud Aqli Wan Naql, 4/89).

Kemudian hal ini juga cakupan dari pemikiran yang bagus, bagaimana seseorang beribadah kepada Tuhan dengan tidak meyakini kesempurnaan secara mutlak. Atau berprasangka bahwa masih ada kekurangan ke Dzat-Nya. Atau sedikit dari sifat-Nya?

SyaikhulIslam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Kekurangan itu ditiadakan secara akal sebagaimana peniadaan secara sam’an (wahyu). Akal mengharuskan mensifati Subhana dengan sifat sempurna. Dan kekurangan itu kebalikan dari sifat sempurna.” (Syarh Asbahaniyah, no. 412).

Kemudian ia juga termasuk cakupan dari fitrah yang lurus yang tidak rusak. Dan tidak berubah dari asal penciptaannya. Sebagaimana Firman Allah ta’ala:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (سورة: الروم: 30)

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum: 30)

Syaikhul islam rahimahullah mengatakan, “Penetapan dengan Pencipta dan kesempurnaan-Nya sesuai dengan fitrah secara langsung bagi orang yang selamat fitrahnya. Disertai hal itu dengan dalil-dalil yang banyak. Terkadang kebanyakan orang  membutuhkan dalil ketika fitrahnya berubah dan kondisi yang menimpanya.” (Majmu Fatawa, 6/73).

Kedua:

Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam tadi, bahwa nash wahyu di antaranya ayat-ayat Qur’an telah menunjukkan penetapaan kesempurnaan untuk Allah Ta’ala. Akan tetapi yang harus diperhatikan pertama kali adalah bahwa makna dari kitab apa saja, tidak hanya diambil sisi dhohir lafadnya bahkan diperhatikan juga cara lain. Diantara cara yang disepakat orang-orang berakal pada setiap agama, bahwa makna yang diambil juga dengan istiqro’ (pendalaman) dan dengan isyarat. Dan dari kontek nash dan ruhnya dari dalil yang diakui dari lafad nash. Kalau kita perhatikan hal ini, maka mungkin kita katakan bahwa sifat sempurna meskipun tidak ada dengan lafad ini di Qur’an melainkan ayat-ayat Qur’an telah menunjukkannya dari berbagai sisi. Yang terpenting dan yang paling jelas adalah:

Sisi pertama: Dengan istiqro’ (pendalaman) nash Qur’an Karim kita dapatkan bahwa Allah ta’ala telah mensifati diri-Nya dengan sifat sempurna. Dimana Allah Ta’ala telah memberi nama pada diri-Nya dengan banyak sifat sempurna ini. Kemudian mensifati nama-nama-Nya dengan indah. Dalam banyak ayat Qur’an. Diantaranya hal itu firman Ta’ala:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (سورة الأعراف: 180)

“Hanya milik Allah Asmaa-ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 180)

Kalau Allah Ta’ala disifati dengan sangat sempurna dalam keindahan. Hal ini mengharuskan meniadaakan kebalikannya dari sifat kekurangan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Secara global (dalil) sam’i (wahyu) telah menetapkan bagi-Nya nama-nama yang indah dan sifat yang sempurna yang ada. Dan semua kebalikan itu, (dalil) sam’I (wahyu) meniadakannya. Sebagaimana meniaadakan bagi-Nya kesamaan dan kesetaraan. Sesungguhnya penetapan sesuatu itu meniadakan kebalikannya. Dan mengharuskan kebalikannya. Akal mengetahui peniadaan hal itu. Sebagaimana diketahui penetapan kebalikannya. Sehingga menetapkan salah satu kebalikannya itu meniadakan yang lainnya dan yang melazimkannya. Maka metode ilmu (pengetahuan) meniadakan apa yang bersih bagi Tuhan itu sangat luas.” (Majmu Fatawa, 3/84).

Oleh karena itu, Allah mengiringi sifat ini dengan –Baginya Asmaul Husna (Nama-nama yang indah). Dalam ayat lain dengan menetapkan bahwa Dia layak untuk disucikan, Allah Ta’ala berfirman:

هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ. (سورة الحشر: 24)

“Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepadaNya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Hasr: 24)

Tasbih dalam bahasa adalah mensucikan. Ibnu Atsir rahimahullah mengatakan, “Asal kata ‘Tasbih adalah membersihkan, mensucikan, lepas dari kekurangan. Kemudian digunakan di beberapa tempat yang mendekatkan (makna) lebih luas lagi.” (An-Nihayah Fi Goribil Hadits, 2/331).

Kalau sifat Allah semuanya sangat indah dan sangat sempurna yaitu Allah Subhanah disamping itu bersih dari semua kekurangan. Ini sebagai dalil dari Qur’an yang jelas akan kesempurnaan Allah Subhanahu wata’ala

Sisi kedua:

Telah ada dalam ayat Qur’an yang banyak akan pengagungan Allah dan perintah akan hal itu. Tasbih dalam bahasa seperti tadi adalah penyucian. Dan penyucian Allah Ta’ala mengandung peniadaan semua kekurangan. Kalau meniadakan semua kekurangan Allah Ta’la tidak tersisa dari sifat-Nya melainkan yang menunjukkan kesempurnaan. Karena mencakup penyucian untuk kesempurnaan Allah Ta’ala. Banyak ayat yang menyandingkan hamdillah (pujian kepada Allah) karena merasakan kesempurnaan ini bahkan menjadi suatu keharusan-Nya. Sebagaimana firman Ta’ala:

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ ، وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (سورة الصافات: 180 – 182)

“Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam.” (QS. As-Shofat: 180-182)

Ibnu Katsir rahimahullah dalam menafsiri ayat ini mengatakan, “Allah Ta’ala membersihkan dirinya Yang Mulia, mensucikan dan berlepas diri dari apa yang dikatakan orang-orang dolim, pendusta dan melampai batas.

وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ  maksudnya bagi-Nya seluruh pujian pertama dan terakhir pada setiap kondisi. Ketika pensucian mengandung pembersihan dan berlepas dari kekurangan dengan dalil yang bersesuaian. Menjadi suatu keharusan menetapkan kesempurnaan. Sebagaimana pujian (Al-Hamdu) menunjukkan akan penetapan sifat sempurna secara kesesuaian. Dan menjadi suatu keharusan meniadakan dari kekurangan. Menyandingkan diantara keduanya (tasbih dan hamd) di tempat ini. Dan pada banyak tempat di Al-Qur’an.” (Tafsir Ibnu Katsir, 7/46).

Sisi ketiga:

Ketika kita telah mengetahui seperti tadi bahwa Allah mensucikan diri-Nya dari semua kekurangan, hal ini mengharuskan darinya tidak disifati kecuali dengan apa yang layak dipuji untuk-Nya. Maka Allah Ta’ala kabarkan  bahwa dalam sifat terpuji ini lebih tinggi dari sifat makhluk. Tidak dapat diketahui seorangpun. Ini adalah sangat sempurna. Maka Allah berfirman menjelaskan akan ketinggian dari makhluk-Nya dzat dan sifatnya:

فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ ، رَفِيعُ الدَّرَجَاتِ ذُو الْعَرْشِ (سورة غافر: 14 – 15)

“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya). (Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang mempunyai 'Arsy.” (QS. Ghafir. 14-15)

Allah berfirman:

وَهُوَ الَّذِي يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ وَهُوَ أَهْوَنُ عَلَيْهِ وَلَهُ الْمَثَلُ الْأَعْلَى فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ  (سورة الروم:  27)

“Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya. Dan bagi-Nyalah sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ar-Rum: 27).

Dan (Allah) meniadakan persamaan dengan seorangpun dari makhluknya, seraya berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (سورة الشورى: 11)

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syuro: 11)

Semuanya ini mengisyaratkan sangat sempurna dalam sifat Allah Ta’ala

Sisi keempat:

Sesungguhnya Allah memberi nama untuk diri-Nya dengan banyak nama, masing-masing menunjukkan keumuman kesempurnaan-Nya Ta’aa dan berlepas dari semua kekurangan. Diantaranya adalah:

1.Al-Quddus. Allah Berfirman

( يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ )  الجمعة (1

“Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Jumah: 1)

Ibnu Atsir rahimahullah mengatakan tentang asma Allah Ta’ala ‘Al-Quddus’ adalah suci dan bersih dari seluruh aib. Dan kata ‘Fa’ul’ termasuk bentuk mubalagoh (menunjukkan kesempurnaan).” (An-Nihayah, 4/23).

2.As-Salam. Allah Ta’ala berfirman:

( هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلَام ( سورة الحشر: 23

“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera.” (QS. Al-Hasyr: 23)

Ibnu Qoyim rahimahullah berkata, “Ketika kata ‘As-Salam’ salah satu nama Tuhan Tabaroka wata’ala, pada asalnya ia adalah isim masdar seperti kata ‘Kalam dan ‘Atho’. Maka Tuhan Ta’ala lebih berhak dari selain-Nya. Karena kata ‘Salim’ adalah selamat dari seluruh aib, kekurangan dan celaan. Karena bagi-Nya kesempurnaan mutlak dari seluruh sisi. Dan kesempurnaan-Nya termasuk suatu keharusan dari Dzat-Nya. Tiada lain kecuali itu. Kata ‘As-Salam’ mengandung keselamatan perbuatan-Nya dari kesia-siaan, kedholiman dan menyalahi hikmah. Dan keselamatan sifat-Nya dari penyerupaan sifat makhluk, selamat Dzat-Nya dari semua kekurangan dan aib. Selamat nama-nama-Nya dari semua celaan. Maka nama ‘As-Salam’ mengandung penetapan semua kesempurnaan bagi-Nya dan mencabut semua kekurangan dari-Nya. Selesai dari ‘Ahkam Ahlu Dzimmah, (1/413-414).

3.As-Somad. Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ، اللَّهُ الصَّمَدُ  (سورة الإخلاص: 1 – 2)

“Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (QS. Al-Ikhlas: 1-2)

Diriwayatkan Tobari dalam tafsirnya, (24/736) dari Ibnu Abbas dalam firman-Nya ‘As-Somad’ surat Al-Ikhlas: 2. Adalah Tuan yang telah sempurna kekuasaan-Nya. Maha Mulia yang telah sempurna kemulyaan-Nya. Maha Agung yang telah mencakup keagungan-Nya. Dan Maha Lembut yang telah sempurna kelembutan-Nya. Maha Kaya yang telah sempurna kekayaan-Nya. Maha Perkasa yang sempurna keperkasaan-Nya. Maha Mengetahui yang telah sempurna keilmuan-Nya. Maha Bijaksana yang telah sempurna kebijaksanaan-Nya. Dia yang telah sempurna semua bentuk kemulyaandan kekuasaan. Yaitu Allah subhanahu dari siafat-sifat-Nya. Tidak layak kecuali untuk-Nya

Syekh Muhammad Amin Sinqithi rahimahullah mengatakan, “Sebagian ulama mengatakan, “Kata As-Somad’ adalah Tuan. Yang tergantung kepada-Nya ketika dalam kondisi kesulitan dan butuh. Sebagian mengatakan, “Ia adalah Tuan yang sangat sempurna kekuasaan, kemulyaan, keagungan, ilmu dan hikmah-Nya. Sebagian lagi mengatakan, “Kata As-Somad adalah Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. Sehingga (ayat) setelahnya ada penafsirannya. Sebagian mengatakan, “Dia yang Tetap ada setelah hancur makhluk-Nya. Sebagian mengatakan,”Kata ‘As-Somad’ adalah tidak ada rongga, tidak makan makanan. Yang dikenal dalam perkataan arab ketika penamaan as-somad adalah untuk tuan yang agung. Dan kepada sesuatu musommat adalah yang tidak ada rongga. Ketika anda mengetahu hal itu, maka Allah Ta’ala adalah Tuan Dia saja tempat kembali ketika dalam kondisi sulit dan butuh. Dia Yang bersih dan suci dan tinggi dari sifat makhluk. Seperti makan makanan dan semisalnya. Subhanahu wa ta’ala dari hal itu (terlepas dari hal itu) yang sangat tinggi sekali. selesai dari ‘Adwaul Bayan, (2/220-221).

4.Al-Hamid, Allah Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ  (سورة فاطر: 15)

“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (QS. Fatir: 15)

Al-Khattabi rahimahullah mengatakan, “Kata ‘Al-Hamid’ adalah yang dipuji berhak mendapatkan pujian dengan prilaku-Nya. Ia ikut wazan ‘Fa’iil’ dengan arti ‘Maf’uul’ Dia yang dipuji dalam kondisi senang maupun susah. Kekurangan maupun kelapangan. Karena Dia Maha Bijaksana, dalam prilaku-Nya tidak pernah salah. Dan tidak pernah melakukan kesalahan. Dia yang dipuji dalam segala kondisi.” Selesai dari ‘Sya’nu Doa, hal. 78.




*Matan Keesaan Allah*


الاَحَدُ فِىأُلُوْهِيَّتِهِ وَصِفاَتِهِ وَ اَفْعَالِهِ (8)

*Yang Esa tentang ketuhanan-Nya (8).*

(8) قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ. وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ . (الاخلاص: 1-4).

(8) “Katakanlah: Dialah Yang Maha Esa, Allahlah pusat permohonan, Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak sesuatu yang menyamainya”. (Ikhlas:1-4)

أَمَّنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَأَنْزَلَ لَكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأ َنْبَتْنَا بِهِ حَدَائِقَ ذَاتَ بَهْجَةٍ مَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُنْبِتُوا شَجَرَهَا أَإِلَهٌ مَعَ اللهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ يَعْدِلُونَ  (النّمل: 60)

“Atau siapakah yang menciptakan langit dan bumi, dan telah menurunkan air dari langit untukmu, lalu aku tumbuhkan dengan air itu beberapa kebun yang indah serasi, yang kamu tidak dapat tumbuhkan pohon-pohonnya. Adakah Tuhan lain disamping Allah? Memang mereka itu orang-orang yang menyimpang” (Naml: 60).


*Matan Sifat Hidup Dan Berdiri SENDIRI*

اَلْحَىُّ القَيُّوْمُ (9)

*Yang hidup dan pasti ada dan mengadakan segala yang ada (9).*

(9) اللهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ (البقرة: 255).

(9) “Allah, yang tiada Tuhan yang wajib disembah selain Dia, yang hidup dan berdiri sendiri…”. (Baqarah:255).

*Matan Mendengar Dan Melihat*



السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ (10)

_*Yang mendengar dan yang melihat (10).*_

(10) وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير  ُ(الشورى: 11)

(10) “Dan Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui”. (Syura:11).

*Matan Allah Berkuasa*

وَهُوَ عَلَى كُلَِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ (11)

*Dan Dialah yang berkuasa atas segala sesuatu (11).*

(11) تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ  (الملك: 1)

(11) “Maha suci Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia maha kuasa atas segala sesuatu.” (Mulk:1).

Syarah

Ayat ini menerangkan bahwa Allah Yang Mahasuci dan yang tidak terhingga rahmat-Nya, adalah penguasa semua kerajaan dunia yang fana ini dengan segala macam isinya, dan kerajaan akhirat yang terjadi setelah lenyapnya kerajaan dunia. Allah berfirman: Dan milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (al-Ma'idah/5: 17) Firman Allah yang lain : Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Pemilik hari pembalasan. (al-Fatihah/1: 2-4) Allah adalah penguasa kerajaan dunia. Hal ini berarti bahwa Dialah yang menciptakan seluruh alam ini beserta segala yang terdapat di dalamnya. Dia pulalah yang mengembangkan, menjaga kelangsungan wujudnya, mengatur, mengurus, menguasai, dan menentukan segala sesuatu yang ada di dalamnya, sesuai yang dikehendaki-Nya. Dalam mengatur, mengurus, mengembangkan, dan menjaga kelangsungan wujud alam ini, Allah menetapkan hukum-hukum dan peraturan-peraturan. Semua wajib tunduk dan mengikuti hukum-hukum dan peraturan yang dibuat-Nya itu tanpa ada pengecualian sedikit pun. Apa dan siapa saja yang tidak mau tunduk dan patuh, serta mengingkari hukum-hukum dan peraturan-peraturan itu pasti akan binasa atau sengsara. Hukum dan peraturan Allah yang berlaku di alam ini ada dua; pertama, sunatullah yang merupakan hukum dan ketentuan Allah yang berlaku di alam semesta ini, baik bagi makhluk hidup maupun benda mati, baik bagi manusia maupun bagi hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda yang tidak bernyawa, baik bagi bumi dengan segala isinya maupun bagi seluruh planet-planet yang beredar di jagat raya yang tiada terbatas luasnya. Di antara hukum dan peraturan Allah itu ialah api membakar, air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, hukum Pascal, dan, hukum Archimedes. Manusia hidup memerlukan oksigen, makan dan minum, baik berupa makanan dan minuman jasmani maupun rohani. Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Tiap-tiap planet, termasuk bumi, mempunyai daya tarik-menarik dan berjalan pada garis edarnya yang telah ditentukan; dan banyak lagi hukum-hukum dan peraturan-peraturan Allah, baik yang telah diketahui manusia maupun yang belum diketahuinya. Pelanggaran terhadap hukum dan peraturan Allah berarti kesengsaraan dan kebinasaan bagi yang melanggarnya. Seperti memasukkan tangan ke dalam api berakibat terbakarnya tangan tersebut, dan merusak alam atau menebang hutan yang melampaui batas berakibat banjir dan kerugian bagi manusia. Bahkan bintang-bintang dan meteor yang menyalahi hukum Allah akan mengalami kehancuran. Kedua, agama Allah, yang berisi petunjuk-petunjuk bagi manusia. Dengan mengikuti petunjuk-petunjuk itu, manusia akan hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Agama yang berisi petunjuk-petunjuk itu diturunkan Allah kepada para rasul yang telah diutus-Nya, sejak dari Nabi Adam sampai kepada Nabi Muhammad, sebagai nabi dan rasul Allah yang terakhir, penutup dari segala rasul dan nabi. Manusia yang hidup setelah diutusnya Nabi Muhammad, sampai akhir zaman, wajib mengikuti agama yang dibawanya jika mereka ingin hidup selamat, berbahagia di dunia dan di akhirat . Demikianlah Allah yang menguasai, mengurus, mengatur, dan menjaga kelangsungan wujud alam ini, menetapkan undang-undang dan ketentuan-ketentuan, sehingga dengan demikian terlihat semuanya teratur rapi, indah, dan bermanfaat bagi manusia. Apabila seorang warga negara wajib tunduk dan patuh kepada semua hukum dan ketentuan yang berlaku di negaranya, tentu ia harus lebih wajib lagi tunduk dan patuh kepada hukum dan peraturan Allah yang menciptakan, memberi nikmat, dan menjaganya. Jika suatu negara menetapkan sanksi bagi setiap warga negara yang melanggar hukum dan peraturan yang telah ditetapkannya, maka Allah lebih menetapkan sanksi dan mengadili dengan seadil-adilnya setiap makhluk yang mengingkari hukum dan peraturan yang telah dibuat-Nya. Di samping sebagai penguasa kerajaan dunia, Allah juga menguasai kerajaan akhirat, yang ada setelah kehancuran seluruh kerajaan dunia. Kerajaan akhirat merupakan kerajaan abadi; dimulai dari terjadinya hari Kiamat, hari kehancuran dunia dan pembangkitan manusia dari kubur. Kemudian mereka dikumpulkan di Padang Mahsyar untuk diadili dan ditimbang amal dan perbuatannya. Dari pengadilan itu diputuskan; bagi yang iman dan amal salehnya lebih berat dibandingkan dengan kesalahan yang telah diperbuatnya, maka ia diberi balasan dengan surga, tempat yang penuh kenikmatan dan kebahagiaan. Sebaliknya jika perbuatan jahat yang telah dikerjakannya selama hidup di dunia lebih berat dari iman dan amal saleh yang telah dilakukannya, maka balasan yang mereka peroleh adalah neraka, tempat yang penuh kesengsaraan yang tiada tara. Kehidupan di akhirat, baik di surga maupun di neraka, adalah kehidupan yang kekal. Di surga Allah melimpahkan kenikmatan dan kebahagiaan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh, sedangkan di neraka Allah menimpakan siksaan yang sangat berat kepada orang-orang kafir dan berbuat jahat. Allah berfirman: Bukan demikian! Barang siapa berbuat keburukan, dan dosanya telah menenggelamkannya, maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya, Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya. (al-Baqarah/2: 81-82) Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah sebagai penguasa kerajaan dunia dan kerajaan akhirat, Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada suatu apa pun yang dapat menandingi kekuasaan-Nya dan tidak ada suatu apa pun yang dapat luput dari kekuasaan-Nya itu.

*Matan Kehendak Allah*

إِنَّمَا اَمْرُهُ اِذَا اَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ (12)

_Perihal-Nya apabila ia menghendaki sesuatu Ia firmankan: “Jadilah”! maka jadilah sesuatu itu (12)._

(12) إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ إِذَا أَرَدْنَاهُ أَنْ نَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (النحل: 40)

(12) “Sesungguhnya firman-ku kepada sesuatu, apabila aku menghendaki adanya, Aku hanya mengatakan : Jadilah, maka jadilah ia.”(Nahl:40).


Syarah


Allah Swt. berfirman seraya memberitakan dan mengingatkan (manusia) akan kekuasaan-Nya Yang Mahabesar di langit yang tujuh lapis, berikut semua bintang yang ada padanya, baik yang tetap maupun yang beredar, Yang Mahabesar di bumi lapis tujuh berikut semua gunung, padang pasir, laut, dan hutan belantara serta apa yang ada di antaranya. Dia memberikan petunjuk melalui hal tersebut yang menunjukkan akan kekuasaan-Nya, bahwa Tuhan Yang Menciptakan segala sesuatu yang besar-besar itu mampu menghidupkan kembali, jasad-jasad yang telah mati.

Allah Swt. telah berfirman:

Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia. (Al-Mu-min: 57)

Adapun firman Allah Swt.:

Dan tidakkah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu? (Yaa Siin:81)

Yakni serupa dengan manusia, maka Dia mengembalikan mereka menjadi hidup kembali sebagaimana Dia memulai penciptaan mereka. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Jarir.

Dan ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam ayat lain melalui firman-Nya:

Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan langit dan bumi dan Dia tidak merasa payah karena menciptakannya, kuasa menghidupkan orang-orang mati? Ya (bahkan) sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. (Al Ahqaaf:33)

Dan dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya:

Benar, Dia berkuasa. Dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, "Jadilah!" Maka terjadilah ia. (Yaa Siin:81-82)

Yakni sesungguhnya Dia hanya memerintahkan kepada sesuatu sekali perintah, tidak perlu diulangi atau ditegaskan: Apabila Allah menghendaki suatu urusan, maka Dia hanya berfirman kepadanya, "Jadilah," sekali ucap, maka jadilah ia.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Namir, telah menceritakan kepada kami Musa ibnul Musayyab, dari Syahr, dari Abdur Rahman ibnu Ganam, dari Abu Zar r.a. yang mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah bersabda: Sesungguhnya Allah Swt. berfirman, "Hai hamba-hamba-Ku, kalian semua berdosa terkecuali orang yang Aku maafkan. Maka mohonlah ampunan kepada-Ku, tentu Aku mengampuni kalian. Dan kalian semua miskin, kecuali orang yang Aku beri kecukupan, sesungguhnya Aku Maha Pemurah, Mahaagung, Mahakaya, Aku melakukan apa saja yang Kukehendaki. Pemberian-Ku hanya satu kata, dan azab-Ku hanya satu kata, apabila Aku menghendaki sesuatu, sesungguhnya Aku hanya mengatakan kepadanya, 'Jadilah!' Maka jadilah ia.”

*Matan Allah Memgetahui*


وَهُوَ عَلِيْمٌ بِمَا يَفْعَلُوْنَ (13)

_Dan dia mengetahui segala dengan yang mereka kerjakan (13)_

(13) وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (البقرة: 29)

(13) “Dan Dia itu Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Baqarah:29)

وَسِعَ رَبُّنَا كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا (الإعراف: 89)
“Pengetahuan Tuhan kami, meliputi segala sesuatu”. (A’raf: 89).

إِنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُون َ(النحل: 91)

“Sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Nahl : 91).


Syarah

ALLAH MENGETAHUI SEGALA SESUATU
Allâh Azza wa Jalla memberitakan dalam beberapa ayat bahwa Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dia-lah Allâh, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. [Al-Baqarah/2: 29]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ ۖ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu. [Al-An’am/6: 101]

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah saat menjelaskan ayat (yang artinya), “Dia mengetahui segala sesuatu”, beliau mengatakan  bahwa ini termasuk bentuk umum yang tidak ada pengecualian selamanya. Keumuman (ilmu Allâh) ini mencakup (ilmu terhadap)  perbuatan-Nya, perbuatan para hamba-Nya, baik secara global maupun rinci. Allâh Azza wa Jalla mengetahui apa yang  sedang terjadi dan apa yang akan terjadi. Ilmu Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencakup sesuatu yang wajib ada, sesuatu yang mungkin ada, dan sesuatu yang mustahil ada. Sehingga ilmu Allâh luas, mencakup, dan meliputi segala sesuatu  tanpa kecuali.

1. Ilmu Allâh terhadap sesuatu yang wajib ada, seperti ilmu-Nya (pengetahuan-Nya) terhadap diri-Nya, dan terhadap semua sifat-Nya yang maha sempurna.

2. Ilmu Allâh terhadap sesuatu yang mustahil ada, seperti firman Allâh Azza wa Jalla :

لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتَا 

Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allâh, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. [Al-Anbiya’/21: 22]

Demikian juga firmanNya:

إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَاباً وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ

Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allâh sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. [Al-Hajj/22: 73]

3. Ilmu Allâh terhadap sesuatu yang mungkin ada, adalah semua makhluk yang telah Allâh Subhanahu wa Ta’ala beritakan, itu termasuk sesuatu yang mungkin. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعْلِنُونَ

Dan Allâh mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan. [An-Nahl/16: 19]

Dengan demikian, ilmu Allâh Subhanahu wa Ta’ala meliputi segala sesuatu”. [Syarah Aqîdah Wasîthiyah, 1/184]

Tidak ada apapun yang lepas dari ilmu Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang meliputi segala sesuatu. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

ah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz). [Al-An’am/6: 59]

DAMPAK DARI MENGIMANI BAHWA ALLAH MAHA MENGETAHUI

Banyak sekali dampak keimanan manusia kepada ilmu Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:

والثمرة التي ينتجها الإيمان بأن الله بكل شيء عليم: كمال مراقبة الله عز وجل وخشيته، بحيث لا يفقده حيث أمره، ولا يراه حيث نهاه.

Buah yang dihasilkan oleh keimanan bahwa Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu adalah kesempurnaan murâqabah (pengawasan) kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan khasy-yah (takut) kepada-Nya, yang mana Allâh mendapatinya di tempat yang Allâh perintahkan dan Allâh tidak melihatnya di tempat yang Dia larang”. [Syarah Aqîdah Wasîthiyah, 1/184]

Kemudian di antara dampak keimanan kepada ilmu Allâh, antara lain adalah:

1. Mengetahui Kesempurnaan Agama Islam
Karena Allâh Maha Mengetahui, sementara agama Islam datang dari sisi-Nya. Maka Islam adalah agama yang sempurna, beritanya benar dan hukum-hukumnya adil. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا ۚ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (al-Qur’an, sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al-An’am/6: 115]

Oleh karena itu kita dapatkan banyak ayat al-Qur’an yang menjelaskan hukum syari’at kemudian di akhiri dengan menyebutkan nama Allâh ‘Alîm (Maha Mengetahui) dan Hakîm (Maha Bijaksana). Contohnya adalah firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allâh dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allâh; dan Allâh Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. [At-Taubat/9: 60]

 Kalau syari’at Islam ini datang dari Allâh Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, maka tentu kewajiban hamba untuk menerima dengan senang hati seluruh syari’at Islam dan meyakini kebaikannya di atas seluruh peraturan yang ada.


*Matan Sifat Kesempurnaan*

اَلْمُتَّصِفُ بِالْكَلاَمِ وَكُلِّ كَمَالٍ. المُنَزَّهُ عَنْ كُلِّ نَقْصٍ وَمُحَالٍ (14)
_sifat kesempurnaan. Yang suci dari sifat mustahil dan segala kekurangan (14)._

(14) فَسُبْحَانَ اللهِ عَمَّا يَصِفُون َ(المؤمنون: 91)

(14) “Maha suci Allah dari pada apa yang mereka sifati”.(Mu’minun: 91)

Syarah

Allah sempurna setiap perbuatan-Nya, Alloh sempurna setiap ciptaan-Nya. Jikalau kita menafakuri diri kita, kita lihat bagaimana kita diciptakan, berasal dari satu sel sperma yang tidak pernah mengerti apapun, kemudian bertemu dengan satu sel telur yang juga tidak pernah mengerti apapun, di dalam rahim ibu. Kemudian dalam tempo tiga puluh lima jam terjadi pembelahan sel demi sel dengan cepat dan sempurna. Meski dalam bentuk yang teramat kecil, proses yang terjadi di dalamnya begitu sempurna hingga akhirnya ia berubah menjadi janin lalu bayi yang utuh lengkap dengan ruh.

Dari proses penciptaan ini kita bisa menyaksikan betapa sempurnanya ciptaan Alloh dan betapa sempurnanya kekuasaan Alloh. Tidak ada yang gagal, tidak ada yang meleset, tidak ada yang keliru, semuanya sempurna. Tubuh kita ini adalah bukti sempurnanya kekuasaan Alloh. Jika ada istilah ‘cacat’, maka cacat itu hanya pada penilaian manusia semata yang terbatas dalam hal ilmu, wawasan, pemahaman dan diselimuti hawa nafsu.

Alloh Swt. berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At Tiin [95] : 4)

Kesempurnaan penciptaan ini tidak hanya berkaitan dengan penciptaan lahiriyah manusia saja, melainkan dalam segala hal. Alloh menciptakan nyamuk secara sempurna. Nyamuk dibuat mengerti ketika tangan manusia mau memukul dia. Siapa yang mengajari nyamuk menghindar dengan gesit? Mengapa tidak setiap nyamuk bisa dipukul dengan tangan manusia? Maha Suci Alloh yang telah menciptakan nyamuk sedemikian sempurna dengan instingnya.

Bukan hanya tentang ciptaan, berbagai kejadian pun Alloh kehendaki dengan sempurna. Peristiwa demi peristiwa, berbagai suara, semuanya jikalau kita tafakuri adalah kesempurnaan perbuatan Alloh Swt. Ketika kita bertemu atau menyaksikan kegagalan, kemudian kita menilai itu sebagai suatu kekurangan, maka sesungguhnya itu adalah bukti dari kesempurnaan Alloh, karena setiap ciptaan Alloh tidak ada yang sia-sia, selalu ada hikmah di baliknya.



*Matan Iradah Allah*

 يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ. بَِيَدِهِ اْلأَمْرُ كُلُّهُ وَإِلَيْهِ يَرْجِعُوْنَ (15).

_Dialah yang menjadikan sesuatu menurut kemauan dan kehendakNya. Segala sesuatu ada ditangan-Nya dan kepada-Nya akan kembali (15)._

(15) وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ (القصص: 68)

(15) “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan Dia pilih”. (Qashah:68).

لِلَّهِ الأَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْ بَعْدُ (الروم: 4)

“Bagi Allah-lah segala perkara, pada sebelum dan sesudahnya.”(Rum:4).

Syarah

Iradah dibagi menjadi dua bagian:

Pertama iradah kauniyah.

Kedua, iradah syar’iyyah.

Segala sesuatu yang berarti kehendak termasuk iradah kauniyah, sedangkan sesuatu yang bermakna cinta berarti iradah syar’iyyah. Contoh dari iradah syar’iyyah adalah firman Allah,

وَاللهُ يُرِيدُ أَن يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَن تَمِيلُوا مَيْلاً عَظِيمًا

“Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).” (QS. An-Nisa: 27)

Kata “hendak” di sini berarti cinta (senang) bukan berarti kehendak, karena jika makna kata “hendak” itu adalah bahwa “Allah hendak menerima taubat kalian,” tentu Dia akan menerima taubat semua manusia dan ini adalah sesuatu yang tidak mungkin karena kebanyakan manusia adalah orang-orang kafir (tidak bertaubat). Jadi makna “Hendak menerima taubatmu” adalah senang menerima taubatmu dan kecintaan Allah terhadap sesuatu tidak mesti terjadi. Karena hikmah ilahiyah tertentu, kadang mengharuskan sesuatu tidak terjadi.

Contoh dari iradah kauniyah adalah firman Allah,


إِن كَانَ اللهُ يُرِيدُ أَن يُغْوِيَكُمْ هُوَ رَبُّكُمْ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

“Sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu, Dia adalah Tuhanmu dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Huud: 34)

Karena Allah tidak senang menyesatkan manusia, maka tidak sah memberikan makna bahwa Allah senang menyesatkan kalian, tetapi maknanya adalah jika Allah hendaknya menyesatkan kalian.

Tetapi jika kami ditanya, apa perbedaan antara iradah kauniyah dan iradah syar’iyyah bila dilihat dari tujuan kejadiannya?

Kami jawab, iradah kauniyah pasti terjadi jika Allah menghendaki itu terjadi, seperti yang difirmankan-Nya,


إِنَّمَآأَمْرُهُ إِذَآأَرَادَ شَيْئًا أَن يَقُولَ لَهُ كُن فَيَكُونُ

“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” (QS. Yaasin: 82)

Sedangkan iradah syar’iyyah kadang terealisasi dan kadang tidak; karena iradah syar’iyyah berarti cinta (senang) dan Allah tidak senang kemaksiatan, tetapi jika Dia menghendakinya itu bisa terjadi, karena segala sesuatu yang ada di langit dan bumi terjadi atas kehendak-Nya.

Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007



Bersambung