Bagaimana Proses Peniadaan Qunut
Subuh Di Muhammadiyah?
QUNUT
اْلقُنُوْتُ
يَرَى اْلمَجْلِسُ اَنَّ الْقُنُوْتَ بِمَعْنَى
طُوْلُ الْقِيَامِ لِلْقِرَاءَةِ وَالدُّعَاءِ فِي الصَّلاَةِ مَشْرُوْعٌ.
MAJELIS TARJIH MEMANDANG :
Bahwa qunut dengan arti berdiri lama untuk membaca dan
berdo’a di dalam shalat, itu masyru’ (ada tuntutannya).
لاَ يَرَى الْمَجْلِسِ تَخْصِيْصَ تَسْمِيَةِ ذَلِكَ
اْلِقيَامِ بِقُنُوْتِ اْلفَجْرِ الْمُتَعَارَفُ الْمُخْتَلَفُ فِي حُكْمِهِ.
MAJELIS TARJIHTIDAK MEMBENARKAN adanya pengertian qiyam di
atas dikhususkan untuk qunut Shubuh yang sudah dikenal dan diperselisihkan
hukumnya.
قَنَتَ النَّبِيُّ صلعم لِلنَّازِلَةِ حَتَّى اَنْزَلَ
اللهُ (لَيْسَ لَكَ مِنَ اْلاَمْرِ شَيْئٌ(
Nabi s.a.w. menjalankan qunut nazilah sampai Allah menurunkan
ayat :
(لَيْسَ لَكَ مِنَ اْلاَمْرِ شَيْئٌ(
“Kamu tidak berhak dalam hal perkara itu “
تَوَقَّفَ الْمَجْلِسُ فِي اعْتِبَارِ حَدِيْثِ
قُنُوْتِ الْوِتْرِ حُجَّةً فِي ثُبُوْتِهِ.
Belum Majelis Tarjih belum dapat [ tawaquf ] mengambil keputusan tentang menilai hadits
witir yang dipakai hujjah alasan bagi adanya qunut witir.
DALIL-DALIL
قَالَ اْلبُخَارِىُّ قَالَ مُحَمَّدٌ عَجْلاَنَ
عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ
صلعم يَدْعُوْ عَلَى رِجَالٍ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ يُسَمِّيْهِمْ بِاَسْمَائِهِمْ حَتىَّ
اَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى (لَيْسَ لَكَ مِنَ اْلاَمْرِ شَيْئٌ) الآية – (آل عمران :
169) تَفْسِيْرُ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ ِلابْنِ كَثِيْرٍ.
Berkata Bukhari : Berkata Muhammad bin ‘Ajlan dari Nafi’,
dari Ibnu Umar, katanya: “Pernah rasulullah mengutuk orang-orang musrik dengan
menyebut nama-nama mereka sampai Allah menurunkan :
)لَيْسَ لَكَ مِنَ
اْلاَمْرِ شَيْئٌ) الآية
Tafsir Al- Qur’an Ibnu Katsir juz : 1 hal. 403.
(Keputusan Muktamar Tarjih)
QUNUT SHUBUH
Disamping makna asli dari perkataan “qunut” yang berarti
“tunduk kepada Allah dengan penuh kebaktian”. Muktamar dalam keputusannya
menggunakan makna Qunut yang berarti “berdiri (lama) dalam shalat dengan
membaca ayat Al-Qur’an dan berdo’a sekehendak hati”, sebagaimana dapat diambil
pengertian tersebut, dari hadits :
اَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُوْلُ الْقُنُوْتِ
Pada perkembangan sejarah Fiqh, di masa lampau orang
telah cenderung untuk memberi arti khusus pada apa yang dinamakan qunut, yakni
: “BERDIRI SEMENTARA” pada shalat Shubuh sesudah ruku’ pada raka’at kedua
dengan membaca do’a: Alla-hummahdini- fi-man hadai-t….. dan seterusnya.
اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيْمَنْ هَدَيْتَ الخ
Mu’tamar Tarjih tidak sependapat dengan pemahaman
tersebut berdasarkan pemikiran bahwa :
a) Setelah diteliti kumpulan
macam-macam hadits tentang qunut, maka Mu’tamar berpendapat bahwa QUNUT sebagai
bagian daripada shalat, tidak khusus hanya diutamakan pada shalat Shubuh.
b)
Bacaan do’a :
اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيْمَنْ هَدَيْتَ الخ
dalam shalat Shubuh itu, haditsnya tidak shah.
c) Pengetrapan hadits riwayat
Hasan tentang do’a :
اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيْمَنْ هَدَيْتَ الخ
untuk
khusus dalam QUNUT SHUBUH, tidak dibenarkan.
QUNUT NAZILAH
Bunyi keputusan yang dirumuskan mengarah pada penampungan
adanya pemahaman yang berbeda dan belum dapat dipertemukan, disebabkan
pemahaman yang berlainan mengenai hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah
s.a.w tidak mengerjakan QUNUT NAZILAH setelah diturunkan ayat :
لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ
عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ (ال عمران 128{
“Tak ada sedikitpun campur
tanganmu dalam urusan mereka itu; Apakah Allah menerima taubat mereka, atau
mengadzab mereka; karena seseungguhnya mereka itu orang-orang yang dhalim.
(Q.S. Ali Imran : 127). Jelasnya ialah bahwa Rasulullah s.a.w pada beberapa
kesempatan telah mengerjakan QUNUT NAZILAH dalam hubungan penganiayaan orang
kafir terhadap kelompok orang Islam. Dalam do’a itu Rasulullah mohon dikutukkan
mereka yang telah melakukan kejahatan dan dimohonkan pembalasan Allah terhadap
mereka. Kemudian turunlah ayat :
لَيْسَ لَكَ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ
عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ (ال عمران:128(
Pemahaman yang timbul dari riwayat tersebut ialah :
Bahwa QUNUT NAZILAH tidak boleh diamalkan.
Boleh
dikerjakan dengan tidak lagi menggunakan kata kutukan dan permohonan pembalasan
terhadap perorangan.
QUNUT WITIR
Hadits yang dijadikan alasan bagi QUNUT WITIR
diperselisihkan oleh ahli-ahli hadits. Mu’tamar masih merasa memerlukan
penelitian dan mempertimbangkan dasar perbedaan penilaian ahli-ahli hadits
tersebut. Maka diambil keputusan TAWAQQUF untuk membahas pada lain kesempatan....
dari Penyusun : kalau tawakkuf boleh dikerjakan atau tidak ...........
dari Penyusun : kalau tawakkuf boleh dikerjakan atau tidak ...........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar