Oleh: H. Sholahuddin Sirizar, Lc, M.A
Direktur Pondok Pesantren Imam Syuhodo Sukoharjo
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PW Muhammadiyah Jawa Tengah
A.
Muqaddimah
Ketika Umat Islam
berselisih dalam suatu urusan, Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah
memerintahkan kepada mereka agar dalam menyelesaikannya, mendasarkan kepada
Al-Qur’an dan As-Sunnah, yaitu dengan firman-Nya:
يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم
في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن
تأويلا
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa’[4]: 56)
Kemudian apabila
Umat Islam berbeda dalam memahami nash-nash dari Al-Qur’an dan As-Sunnah,
mereka telah diperintahkan oleh Rasulullah agar mengikuti pendapat para Ulama
salaf as-shalih dari generasi shahabat dan setelah mereka, dengan sabda beliau:
) اقتدوا بالذين
من بعدى ابي بكر وعمر ) رواه الطبرانى (ج 4 / ص 140)
Artinya: “Ikutilah
orang-orang (para ulama) setelahku, Abu Bakar dan Umar.”
Yang dimaksud
adalah para ulama salaf ash-shalih generasi shahabat dan seterusnya. Salah satu
hikmah dari perintah tersebut adalah, agar dapat dipersempit daerah perbedaan
yang dapat menimbulkan ikhtilaf (perselisihan) atau bahkan iftiraq
(perpecahan).
Diantara urusan
yang masih terdapat perbedaan pemahaman di kalangan Umat Islam adalah, masalah
At-Tatswib pada adzan shalat fajar, apakah diucapkan setelah adzan pertama atau
kedua.
Bahkan ternyata
dalam kajian Tarjih Muhammadiyah pun, masalah ini belum selesai. Hal itu
penulis baca dari buku Fatwa-Fatwa Tarjih, “Tanya Jawab Agama” yang di kelola
oleh Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, pada Jilid 4 halaman 53. Di
situ disebutkan bahwa pada Muktamar Tarjih di Klaten, belum ada kesepakatan.
Kemudian pada Muktamar Tarjih di Malang, telah ditetapkan, bahwa ucapan tatswib
masyru’ pada adzan pertama, namun pada adzan kedua belum disepakati, masih dibaca
atau tidak. Kemudian keputusan Muktamar di Palembang tentang shalat berjama’ah
dengan adzan subuhnya menggunakan ucapan tatswib, itu belum dihapus, sehingga
masih berlaku. Karena itulah, di Muhammadiyah sendiri, masalah tatswib ini,
penulis sebut belum final.
Efek samping dari
adanya perbedaan ini diantaranya adalah munculnya keraguan bagi orang yang
mendengar At-Tatswib tersebut, sudah masuk waktu shalat fajar atau belum,
apalagi di waktu puasa Ramadhan, masih boleh sahur atau tidak.
Dari sisi inilah
salah satu letak pentingnya kita membahas permasalahan ini secara mendalam.
Maka penulis akan mencoba mengkaji beberapa hal yang berhubungan dengan
At-Tatswib tersebut, mulai dari ta’rifnya, pendapat-pendapat para ulama dalam
masalah tersebut beserta dalil-dalil dan alasannya, setelah itu kami berusaha
mengambil yang rajih diantara pendapat yang ada. Semoga Allah Ta’ala menunjukkan
yang benar itu kepada kita. Amin
B.
Ta’rif At-Tatswib
Dalam membahas
suatu permasalahan, satu hal yang tentunya tidak boleh ditinggalkan adalah mengetahui
ta’rif/definisi permasalahan tersebut dengan benar, dengan itu, insya Allah
perbedaan yang mungkin muncul karena adanya salah persepsi dapat dihindarkan.
Adapun kalau kita
mencoba memahami apa yang di maksud dengan at-tatswib oleh para ulama salaf
ash-shalih kita, secara umum mereka membaginya menjadi dua, yaitu pengertian
menurut bahasa dan menurut istilah.
1.
Secara bahasa:
At-Tatswib
berasal dari kata: (ثاب - يثوب - ثوباً)
yang berarti kembali. Orang Arab mengatakan:
(ثاب
إلى عقله أي رجع عما كان عليه من الخطأ )
“Tsaba
kepada akalnya maksudnya kembali dari perbuatannya yang salah.”
Kemudian,
kata kerja itu diubah menjadi: (ثَوَّ ب - يثوّب -
تثويباً) yang memiliki beberapa arti:
a.
mengulang panggilan.
Orang
arab mengatakan:
(ثوَّب
الراعي أي كرر النداء)
“Tsawwaba pengembala maksudnya
memanggil-manggil”.
b.
Iqamah, karena dilakukan setelah
adzan
c.
Ucapan muadz-dzin: ( الصلاة خيرمن النوم ) (www.islamadvice.com)
2.
Secara Istilah:
Di
dalam Istilah agama, At-Tatswib memiliki tiga arti:
1)
Al-Iqamah. Sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله
عليه وسلم - قَالَ « إِذَا نُودِىَ لِلصَّلاَةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ
ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعَ التَّأْذِينَ ، فَإِذَا قَضَى النِّدَاءَ أَقْبَلَ ،
حَتَّى إِذَا ثُوِّبَ بِالصَّلاَةِ أَدْبَرَ ، حَتَّى إِذَا قَضَى التَّثْوِيبَ
أَقْبَلَ حَتَّى يَخْطُرَ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ ، يَقُولُ اذْكُرْ كَذَا ،
اذْكُرْ كَذَا . لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ ، حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ لاَ
يَدْرِى كَمْ صَلَّى » . رواه البخارى (ج 3 / ص 31)
Artinya:
“Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila dipanggil (adzan) untuk shalat, syetan
berpaling dan dia kentut sehingga tidak mendengar adzan, dan apabila adzan
telah selesai dia kembali (menggoda) apabila datang iqamah dia
berpaling, apabila iqamah telah selesai dia kembali sehingga membahayakan
antara seseorang dan diri (jiwa)nya, dia berkata: Ingatlah ini, Ingatlah itu,
ketika sudah tidak ingat, dia lupa sudah berapa rakaat dia shalat.”
2)
Ucapan muadz-dzin pada adzan shalat
fajar (الصلاة خيرمن النوم). Ini adalah
makna yang paling masyhur dari istilah tatswib tersebut, karena banyaknya
hadits yang menyebutkannya.
Kemudian,
dua makna di atas disebut makna yang sunni/yang ada landasan hukumnya (ada
tuntunannya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam), dan hukumnya
mustahab.
3)
Ucapan muadz-dzin:
"حي
على الصلاة حي على الفلاح يرحمك الله".
Inilah
tatswib yang dimakruhkan oleh Umar dan Putranya -Abdullah bin Umar- radhiallahu
‘anhuma, dan karenanya, Abdullah bin Umar keluar dari masjid setelah adzan.
(www.islamadvice.com)
Untuk
menyamakan persepsi, perlu ditegaskan bahwa yang di maksud dengan at-tatswib di
dalam kajian kita ini adalah ucapan muadz-dzin: (
الصلاة خيرمن النوم)
C.
Dalil bahwa
tatswib hanya ada pada adzan shalat fajar
Ada
beberapa hadits yang menegaskan bahwa ucapan at-tatswib hanya ada pada adzan
shalat fajar, diantaranya adalah:
a.
Riwayat dari Bilal radhiallahu ‘anhu:
عن
بلال رضي الله عنه قال: " أمرني رسول الله صلى الله عليه وسلم أن أثوب في
الفجر، ونهاني أن أثوِّب في العشاء ". رواه ابن ماجه ( 715 )
Artinya:
Dari Bilal radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam memerintahku untuk mengucapkan tatswib pada waktu fajar, dan
melarangku mengucapkan tatswib pada waktu ‘Isya’.” (HR. Ibn Majah)
b.
Riwayat dari Ibn Musayyib dari Bilal:
وعن ابن المسيب عن بلال: "أنه أتى النبي صلى الله عليه
وسلم يؤذنه بصلاة الفجر فقيل هو نائم، فقال: الصلاة خير من النوم، الصلاة خير من
النوم؛ فأقرت في تأذين الفجر فثبت الأمر على ذلك". رواه ابن ماجه ( 716 )
Artinya: Dan dari Ibn Musayyib dari
Bilal: “Bahwa dia datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, mengadzaninya untuk shalat fajar, lalu dikatakan
bahwa beliau tidur, kemudian dia mengucapkan: Ash-shalaatu khairun minan-nauum, maka hal
itu disetujui untuk adzan shalat
fajar, dan seterusnya, keadaannya tetap seperti itu.” (HR. Ibn Majah)
c.
Riwayat dari Abdurrahman bin Abi
Laila dari Bilal:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى لَيْلَى عَنْ بِلاَلٍ
قَالَ قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-: (لاَ تُثَوِّبَنَّ فِى
شَىْءٍ مِنَ الصَّلَوَاتِ إِلاَّ فِى صَلاَةِ الْفَجْرِ). رواه الترمذى (1 / 345)
Artinya: Dari Abdurrahman
bin Abi Laila dari Bilal, beliau berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda kepadaku: “Janganlah kamu mengucapkan tatswib sesuatu dari shalat-shalat kecuali pada
shalat fajar.” (HR. At-Tirmidzi)
Kemudian
para ulama menyatakan bahwa hukum Tatswib pada adzan shalat fajar adalah sunnah
atau mustahabbah.
D.
Dalil yang
membolehkan adanya adzan sebelum terbit fajar
Para ulama
sepakat bahwa adzan tidak boleh dikumandangkan sebelum masuknya waktu shalat
wajib, selain shalat fajar. Namun mereka berbeda pendapat mengenai adzan
sebelum datangnya waktu shalat fajar (sebelum terbit fajar). Dalam hal ini
terdapat tiga pendapat yang berbeda:
1.
Adzan pertama yang dikumandangkan
sebelum masuk waktu shalat fajar ada tuntunannya dari Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam, jadi disyari’atkan di dalam Islam. Ini adalah pendapat
Jumhur Ulama, seperti Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, Imam Al-Auza’i, Imam Ahmad,
Ishaq, Abu Tsaur Abu Yusuf dan Ibn Hazm rahimahumullah. (Shahih Fiqh As-Sunnah, Abu
Malik Kamaluddin As-sayyid Salim 1/277)
Adapun hadits
yang mereka jadikan hujjah adalah:
a.
Hadits yang diriwayatkan dari shahabat Ibn Umar radhiallahu
‘anhuma:
عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم – قَالَ: ( إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا
حَتَّى يُنَادِىَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ) رواه البخارى
Artinya:
Dari Salim, dari Abdullah (bin Umar) dari bapaknya, bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Bilal adzan di waktu malam
(sebelum terbit fajar), maka makan dan minumlah sampai Abdullah bin Ummi Maktum
memanggil (adzan setelah masuk waktu shalat fajar).” (HR. Bukhari)
b.
Hadits yang diriwayatkan dari shahabat Ibn Mas’ud radhiallahu ‘anhu:
عن ابن مسعود رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم
قال: "لا يمنعن أحدكم – أو أحداً منكم – أذان بلال من سحوره، فإنه يؤذن –
أوينادي – بليل، ليرجع قائمكم، ولينبه نائمكم". رواه البخارى ( 621 )
Artinya: Dari Ibn Mas’ud radhiallahu ‘anhu dari Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam,
beliau bersabda: “Adzan
Bilal tidak menghalangi salah satu dari kalian dari sahurnya, karena dia adzan
di waktu malam (sebelum terbit fajar), untuk mengingatkan kalian yang sudah
bangun dan membangunkan yang sedang tidur.” (HR. Bukhari)
c.
Hadits dari ‘Aisyah radhiallahu
‘anhuma:
عن عائشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه
قال: "إن بلالاً يؤذن بليل، فكلوا واشربوا حتى يؤذن ابن أم مكتوم". رواه
البخارى
Artinya:
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam bahwa beliau bersabda: (Sesungguhnya Bilal adzan di malam hari,
maka makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum adzan). (HR. Bukhari)
Hadits ini
diriwayatkan oleh beberapa ulama hadits dengan berlainan lafadh tetapi satu
makna, seperti Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, An Nasa’i, Asy Syafi’i, Ad Darimi,
Al Baihaqi, Ath Thabari, dan lain-lain. Pada intinya hadits ini menunjukkan
adanya adzan di malam hari sebelum masuk waktu shalat fajar.
2.
Adzan pertama yang dikumandangkan sebelum masuk waktu shalat fajar tidak ada
tuntunannya dari Rasulullah
shalallahu
‘alaihi wasallam
, maka tidak boleh dilakukan. Ini adalah pendapatnya Sufyan Ats-Tsauri dan Abu
Hanifah. Pendapat
ini marjuh (lemah) karena bertentangan dengan hadits shahih di atas.
3.
Adzan sebelum datangnya waktu shalat
fajar hanya diperbolehkan pada bulan Ramadhan. Ini adalah pendapat Imam Ahmad.
Pendapat ini juga marjuh karena juga bertentangan dengan keumuman dalil di
atas.
E.
At-Tatswib pada
adzan shalat fajar, diucapkan pada adzan pertama atau kedua.
Dalam hal ini terdapat tiga pendapat:
1.
Golongan yang berpendapat bahwa
kalimat tatswib diucapkan pada saat adzan ketika akan dilaksanakannya shalat
fajar. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri (www.islamadvice.com), Syaikh Abdul Aziz
Bin Baz (www.binbaz.org) dan Syaikh
Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin (www.islam-qa.com)
2.
Golongan yang mengatakan bahwa kalimat
tatswib diucapkan pada adzan pertama shalat fajar yang dikumandangkan sebelum
masuk waktu shalat fajar. Ini adalah
pendapat Jumhur Ulama, seperti: Imam Asy-Syafi’I dalam kitab Al-Majmu’ (3/92), Imam Ibnu Hajar
Al-Asqalani dalam Fathul Bari,
Imam Nawawi dalam Syarah Shahih
Muslim,
Asy-Syaukani dalam Nailul Authar,
Ibnul Qayyim dalam ‘Aunul Ma’bud,
Imam Ash-Shan’ani dalam Subulus Salam (1/403), Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Tamamul Minnah (
1/146 ), Imam
Ath-Thahawi, dan ulama-ulama hadits lainnya (www.alislamu.com)
3.
Golongan yang mengatakan bahwa tatswib
dapat diucapkan pada adzan pertama dan kedua. Ini adalah pendapat sebagian
Ulama Syafi’iyyah. (Shahih
Fiqh As-Sunnah, Abu Malik Kamaluddin As-sayyid Salim 1/285), tapi pendapat ini sangat
lemah karena tidak di dukung oleh dalil (bahkan bertentangan dengan dalil yang
ada). Karena di dalam masalah ibadah khusus, harus mengikuti tuntunan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, tidak cukup hanya
menggunakan dalil aqli.
Dalil-dalil:
1.
Dalil yang dijadikan dasar hukum
oleh golongan pertama adalah:
a. Riwayat dari Abu Mahdzuroh yang berbunyi:
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ أَبِى
مَحْذُورَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
عَلِّمْنِى سُنَّةَ الأَذَانِ. قَالَ فَمَسَحَ مُقَدَّمَ رَأْسِى وَقَالَ «
تَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ
تَرْفَعُ بِهَا صَوْتَكَ ثُمَّ تَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ
اللَّهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ
عَلَى الصَّلاَةِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ فَإِنْ كَانَ
صَلاَةَ الصُّبْحِ قُلْتَ الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ الصَّلاَةُ خَيْرٌ
مِنَ النَّوْمِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ». (
رواه أبو داود )
Artinya: Dari
Muhammad bin Abdul Malik bin Abi Mahdzurah, dari bapaknya, dari kakeknya
berkata: Aku berkata: Wahai Rasulullah ajarilah aku sunnah adzan. Berkata: Maka
beliaupun mengusap kepala bagian depanku dan bersabda: “Kamu mengucapkan: ALLAHU
AKBAR 4X, dengan mengeraskan suaramu, kemudian kamu mengucapkan: ASYHADU
ALLA ILAAHA ILLALLAH 2X, ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAH 2X, HAYYA
‘ALASH-SHOLAH 2X, HAYYA ‘ALAL-FALAH 2X, maka Jika shalat Shubuh, kamu ucapkan ASH-SHALAATU KHAIRUM MINAN NAUM’ 2X, ALLAHU AKBAR 2X LAA
ILAAHA ILLALLAH.” (HR. Abu Dawud)
b. Riwayat dari Bilal yang berbunyi:
عَنْ أَبِى إِسْرَائِيلَ عَنِ الْحَكَمِ عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى لَيْلَى عَنْ بِلاَلٍ قَالَ أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- أَنْ أُثَوِّبَ فِى الْفَجْرِ وَنَهَانِى أَنْ أُثَوِّبَ فِى
الْعِشَاءِ. رواه ابن ماجه ( 764 )
Artinya: Dari Abi Israil dari Abdurrahman bin Abi Laila dari
Bilal berkata: “Rasulullah shalalllahu ‘alahi wa sallam memerintahkanku
mengucapkan tatswib pada waktu fajar dan mencegahku mengucapkan tatswib pada shalat
Isya’.” (HR. Ibnu
Majah 764)
c.
Hadits yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin
Abi Laila:
حَدَّثَنَا أَبُو إِسْرَائِيلَ عَنِ الْحَكَمِ عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى لَيْلَى عَنْ بِلاَلٍ قَالَ قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- « لاَ تُثَوِّبَنَّ فِى شَىْءٍ مِنَ الصَّلَوَاتِ إِلاَّ فِى
صَلاَةِ الْفَجْرِ ». رواه الترمذى(I/378):
Artinya: Berkata kepada kami Abu Israil
dari Al-Hakam dari Abdurrahman bin Abi Laila dari Bilal berkata: Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda kepadaku: “Janganlah kamu mengucapkan tatswib sesuatupun
dari shalat-shalat, kecuali pada waktu shalat fajar.” (HR. At-Tirmidzi )
d. Riwayat
dari Suwaid bin
Ghaflah:
عَنْ سُوَيْدِ بْنِ غَفَلَةَ : أَنَّ بِلاَلاً كَانَ لاَ يُثَوِّبُ إِلاَّ فِى
الْفَجْرِ. رواه البيهقى (2071)
Artinya: Dari Suwaid bin Ghaflah: “Bahwa
Bilal tidak mengucapkan tatswib kecuali pada shalat fajar.” (HR.
Al-Baihaqi: 2071)
2.
Dalil yang dijadikan dasar hukum
oleh golongan kedua adalah:
a. Dari
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu,
ia berkata:
عن نافع عن ابن
عمر قال: ( كان في الاذان الاول بعد الفلاح الصلوة خير من النوم الصلوة خير
من النوم ). رواه البيهقي (1 / 423)
Artinya: “Dalam adzan yang pertama
sesudah ‘al-falah’ ada bacaan ‘ash-shalaatu
khairum minan naum’
dua kali.”
Hadits tersebut
diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra 1/423 dan Ath-Thahawi dalam Syarh al-Ma’ani
Atsar 1/82,137) dengan sanad shahih,
seperti yang
dikatakan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani. Hadits ini juga diriwayatkan oleh
Abdur Razaq dalam al-Mushannaf 1/473, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 1/208,
dan At-Thabrani dan sanadnya hasan, sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab At-Talkhisus Al-Habir
1/361 dan Al-Ya’mar berkata: “sanadnya shahih”.
b. Riwayat dari Abu Mahdzurah yang berbunyi:
عَنْ عَبْدِ
الرَّزَّاقِ، عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ، عَنْ أَبِي سَلْمَانَ،
عَنْ أَبِي مَحْذُورَةَ، قَالَ: كُنْتُ أُؤَذِّنُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلاةِ الْفَجْرِ، فَأَقُولُ إِذَا قُلْتُ فِي
الأَذَانِ الأَوَّلِ:"حَيَّ عَلَى الْفَلاحِ، الصَّلاةُ خَيْرٌ مِنَ
النَّوْمِ، الصَّلاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ". رواه الطبراني - (ج
6 / ص 309)
Artinya: Dari
Abdurrazaq, dari Ats-Tsauri, dari Abu Ja’far dari Abu Salman, dari Abu Mahdzurah,
beliau berkata: “Dahulu saya adzan untuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam dalam shalat fajar, maka ketika adzan pertama, saya mengucapkan: HAYYA ‘ALAL-FALAH, ASH-SHALAATU
KHAIRUM MINAN NAUM’ 2X.” (HR. Ath-thabrani)
c.
Riwayat
lain dari Abu Mahdzurah:
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِى عُثْمَانُ بْنُ
السَّائِبِ أَخْبَرَنِى أَبِى وَأُمُّ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ أَبِى
مَحْذُورَةَ عَنْ أَبِى مَحْذُورَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-
نَحْوَ هَذَا الْخَبَرِ وَفِيهِ « الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ الصَّلاَةُ
خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ فِى الأُولَى مِنَ الصُّبْحِ »..... رواه أبو داود (501)
Artinya:
Dari Ibn Juraij berkata: Utsman bin As-Saib memberi kabar kepadaku, bapakku dan
Um Abdul Malik bin Abi Mahdzurah mengabariku dari Abi Mahdzurah dari Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam, berita seperti itu, yang di dalamnya (ASH-SHALAATU KHAIRUM MINAN NAUM’ 2X pada
adzan pertama shalat subuh). (HR. Abu Dawud)
Kemudian penulis juga menemukan hadits yang semakna dengan
hadits di atas (menyebut secara jelas kata “ adzan pertama”), yang diriwayatkan
oleh Al-Baihaqi (2048), An-Nasai (640, 654), dan Ibn Huzaimah (379).
Intinya:
Hadits-hadits yang tersebut di atas secara tegas menyebutkan “Adzan Pertama” shalat
fajar.
Karena
kesesuaian hadits-hadits ini dengan hadits Ibnu Umar sebelumnya, maka Imam
Ash-Shan’ani dalam kitab Subulus
Salam I/167-168 dibelakang lafadz dari an-Nasa’i, berkata:
“Di dalamnya
ada spesifikasi atas riwayat-riwayat yang dinyatakan secara global. Ibnu Ruslan
berkata: Ibnu Khuzaimah manshahihkan riwayat ini. Beliau berkata: Tatswib ini
disyariatkan hanya dalam adzan pertama shalat Fajar untuk membangunkan orang
tidur. Adapun adzan kedua untuk memberitahu masuknya waktu dan panggilan
shalat.”
Pembahasan:
1.
Golongan pertama menyatakan bahwa di
dalam hadits disebutkan “Adzan shalat fajar”, tentunya setelah terbit fajar,
dan itu berarti pada adzan kedua. Namun hal itu dibantah oleh golongan kedua,
karena ada hadits-hadits lain yang menunjukkan secara tegas, bahwa yang di
maksud dengan adzan shalat fajar tersebut adalah pada “adzan pertama”.
Menurut
golongan kedua, hadits-hadits yang dikemukakan oleh golongan pertama “mutlaq”
dan yang mereka kemukakan “Muqayyad”, jadi hadits-hadits golongan kedua
“mentaqyid” hadits-hadits golongan pertama.
Golongan
pertama mengatakan bahwa hadits-hadits yang men-“taqyid” tersebut dha’if dan tidak
bisa dijadikan dasar hukum, dengan alasan bahwasannya pada riwayat An Nasa’i
terdapat perawi bernama Abu Salman yang hanya dipakai oleh An Nasa’i.
Ulama hadits tidak memberikan penilaian tentang perawi ini karena memang ia
tidak dikenal (majhul).
Namun
di jawab oleh golongan kedua: Abu Salman dinamakan juga Hammam, meriwayatkan
hadits dari Ali bin Abi Thalib dan Abu Mahdzurah Al Jumahi, yang meriwayatkan
darinya Al ‘Ala’ bin Shalih Al Kufi dan Abu Ja’far Al Farra’. Rawi ini (Abu
Salman) bukan hanya dipakai oleh An Nasa’i melainkan juga oleh Imam Ahmad di
dalam Musnad-nya (3/408) dan dipakai oleh Imam Ath-Thobroni di dalam Mu’jam-nya
( 309 ) dengan lafadh yang artinya : “Aku adzan di jaman Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pada shalat Shubuh, maka apabila aku mengucapkan
hayya ‘alal falah, aku ucapkan ash shalatu khairun minan naum 2 kali pada adzan
pertama.”
Kemudian
yang meriwayatkan (mengambil riwayat) dari Abi Salman adalah Abu Ja’far Al
Farra’. Yahya
bin Ma’in, Abu Daud, Adz Dzahabi, dan Ibnu Hajar berkata tentangnya (Abu
Ja’far) bahwa dia tsiqat (terpecaya). Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam Ats-Tsiqat.
Imam Al Bukhari di dalam Al-Adab serta Nasa’i juga meriwayatkan darinya.
Demikian pula
Imam Muslim dan ulama Ahli Hadits yang lain menyebutkan bahwa yang meriwayatkan
dari Salman adalah Abu Ja’far Al Farra’. (Tahdzibul Kamal 31/197-199)
Dengan demikian
orang yang meriwayatkan dari Abu Salman adalah seorang rawi yang sangat tsiqat.
Bila rawi yang tsiqat mengambil riwayat dari seorang rawi yang lain, maka hal
ini sebagai ta’dil/tazkiyah bagi orang yang diambil riwayatnya. Lebih-lebih Abu
Salman telah di-ta’dil oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dengan ungkapannya bahwa dia
maqbul (diterima riwayatnya). Hal ini menunjukkan tidak majhul-nya Abu Salman.
Sebagaimana dinyatakan pula oleh Al Khatib Al Baghdadi dan selainnya bahwa
kemajhulan seorang rawi akan terangkat manakala ada ulama yang mengenalnya atau
dengan riwayat-riwayat dari dua rawi yang adil. Beliau juga menambahkan bahwa
Ibnu Hibban dan lainnya berpendapat : “Rawi dapat dihukumi adil walaupun hanya
dengan keadaan ini.” (Al-Ba’its Al-Hatsits halaman 92-93).
Ucapan beliau
sangat cocok dengan keadaan Abu Salman. Sesungguhnya yang meriwayatkan dari Abu
Salman adalah dua rawi yang adil yaitu Al ‘Ala’ bin Shalih Al Kufi dan Abu
Ja’far Al Farra’. Juga Abu Salman diterangkan oleh Imam Al Mizzi di dalam
biografi Abu Ja’far tersebut (Lihat Tahdzibul Kamal 32/7285). Dengan demikian
hadits riwayat Nasa’i ini shahih sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm
(Lihat Talkhishul Habir 1/362) dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani di
dalam Shahih An Nasa’i nomor 627.
2.
Golongan pertama mengatakan bahwa pada sanad hadits riwayat
Ahmad, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah, dan Thahawi terdapat rawi yang bernama Utsman
bin As Saib. Rawi ini juga tidak dikenal oleh ulama hadits sebagaimana yang
dinyatakan oleh Ibnu Qaththan dalam Tahdzibut Tahdzib 7/117,
Di
jawab oleh golongan kedua: Al
Mizzi di dalam Tahdzibul Kamal berkata bahwa Utsman bin As Saib terdapat di At-Tsiqat
Ibnu Hibban. Demikian juga Ibnu Hajar Al Asqalani di Tahdzibut Tahdzib-nya
7/104 dan Lisanul Mizan 4/163, serta lihat di Tarikh Al Kabir 6/277. Selain
rawi ini (Utsman bin As Saib) dimasukkan ke dalam rawi-rawi yang tsiqat oleh
Ibnu Hibban. Juga rawi ini dinyatakan maqbul (diterima riwayatnya) oleh Ibnu
Hajar Al Asqalani di dalam Tahdzibut Tahdzib nomor 4502.
Perlu
diketahui, kadang-kadang seorang rawi dikenal oleh ulama hadits tertentu sedang
ulama hadits yang lain tidak mengenalnya atau samar baginya keadaan rawi
tersebut. Sama
halnya dengan di sini, Ibnu Qaththan memajhulkannya. Sedang Ibnu Hajar dan Ibnu
Hibban mengenalnya, bahkan men-ta’dil-nya.
“Kalau
seorang rawi majhul dan tidak ada ulama hadits yang men-jarh-nya, maka ta’dil
ulama hadits lain diterima walau hanya satu dari kalangan ulama, cukup ucapan
satu ulama di dalam jarh dan ta’dil. Inilah pendapat yang benar.” Demikian
keterangan Ibnu Katsir di dalam Al Ba’its Al-Hatsis halaman 91.
Dua
hadits Abu Mahdzurah di atas yang didlaifkan oleh golongan pertama
ternyata tidak benar adanya, apalagi didukung dengan hadits Ibnu Umar yang
dihasankan oleh Ibnu Hajar di dalam Al Talkhish. Dengan demikian hadits-hadits muqayyad di atas sah dijadikan
sebagai taqyid riwayat-riwayat mutlaq.
3.
Golongan pertama menyatakan bahwa
“adzan” adalah “Pemberitahuan tentang masuknya waktu shalat”. Termasuk di
dalamnya adalah adzan shalat fajar. Dari definisi adzan tersebut, menurut
golongan ini hanya adzan kedualah yang secara istilah dapat disebut “adzan shalat
fajar”, sedang adzan pertama yang dikumandangkan sebelum waktu fajar tidak bisa
di sebut adzan shalat fajar. Jadi menurut golongan pertama: yang di maksud
dengan “adzan pertama (sebelum fajar)” di dalam hadits-hadits yang dikemukakan
oleh golongan kedua, sebenarnya adalah adzan setelah terbit fajar, sedangkan
adzan keduanya adalah iqomahnya, hal itu menurut mereka sesuai dengan sabda
nabi shalallahu ‘alaihi wasallam:
( بين
كل أذانين صلاة ) رواه البخاري ( 598 ) ومسلم ( 838 ) .
Artinya:
Antara dua adzan ( adzan dan iqomah) ada shalat (sunnah). ( HR. Bukhori dan Muslim).
Dalam
hadits tersebut yang dimaksud dengan adzan yang kedua adalah iqomah. Pendapat
seperti ini juga di bantah oleh golongan kedua dari beberapa segi, di antaranya
adalah :
a.
Kalau memang demikian, maka apalah gunanya
hadits-hadits yang berbunyi :
حدثنا
بن أبي داود قال ثنا عمر بن عون قال ثنا هشيم عن منصور بن زاذان عن خبيب بن عبد
الرحمن عن عمته أنيسة قالت قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : إن بن أم مكتوم
يؤذن بليل فكلوا واشربوا حتى تسمعوا نداء بلال. رواه الطحاوى - (ج 1 / ص 138)
Artinya: “Sesungguhnya
Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan di waktu malam, maka makan dan minumlah
sampai kamu mendengar Bilal adzan ( ٍSyarh
Ma’ani Al-Atsar, Ath-Thohawi 784 )
atau sebaliknya,
yang berbunyi:
عَنْ
سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه
وسلم – قَالَ: ( إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ ،
فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُنَادِىَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ) رواه البخارى ( 617 )
Artinya: Dari Salim, dari Abdulloh
(bin Umar) dari bapaknya, bahwa Rasulullah
shalallahu
‘alaihi wasallam
bersabda: (Sesungguhnya Bilal adzan di waktu malam (sebelum terbit fajar), maka
makan dan minumlah sampai Abdulloh bin Ummi Maktum memanggil (adzan setelah
masuk waktu shalat
fajar). (HR. Bukhari)
Hadits di atas menerangkan
adanya adzan di malam hari, sebelum masuk waktu Shubuh.
Demikian pula
akan diletakkan di mana ucapan Ibnu Hazm bahwa tidak ada adzan sebelum masuk
waktu shalat kecuali pada waktu fajar, serta di mana ucapan Mubarakafuri bahwa
hal ini (yaitu adzan awal di malam hari dan adzan kedua waktu Shubuh) adalah
pendapat semua ulama.
b.
Kalaupun benar apa yang dikatakan oleh
golongan pertama tersebut, maka akan dimaknakan atau dimaksudkan apa sabda
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang berbunyi:
عَنْ
نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ - رضى الله عنهما - قَالَ كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- مُؤَذِّنَانِ بِلاَلٌ وَابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ الأَعْمَى فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : ( إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ
فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ». قَالَ وَلَمْ
يَكُنْ بَيْنَهُمَا إِلاَّ أَنْ يَنْزِلَ هَذَا وَيَرْقَى هَذَا ). رواه مسلم
Artinya: Dari
Nafi’ dari Ibn Umar ra beliau berkata: Dahulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam memiliki dua muadz-dzin, Bilal dan Ibn Um Maktum yang buta, lalu Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: (Sesungguhnya Bilal adzan pada
malam hari, maka makanlah dan minumlah sampai Ibn Um Maktum adzan).
Berkata (Ibn Umar radhiallahu ‘anhuma):
Dan di antara kedua (adzan) –nya (jarak) kecuali turunnya orang ini (Bilal) dan
naiknya orang ini (Ibn Um Maktum). (HR. Muslim).
Dan riwayat yang
lain seperti:
عَنْ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم -
قَالَ: لا يَمْنَعَنَّكُمْ أَذَانُ بِلالٍ مِنَ السَّحُورِ حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ
أُمِّ مَكْتُومٍ، قَالَ الْقَاسِمُ: لَمْ يَكُنْ بَيْنَ أَذَانَيْهِمَا إِلا أَنْ
يَنْزِلَ هَذَا وَيَرْقَى هَذَا. أخرجه أبو عوانة (ج 4 / ص 28)
Artinya: Dari
‘Aisyah radhiallahu ‘anhuma, dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: Adzan Bilal tidak melarang kalian dari sahur sampai Abdulloh bin Um
Maktum adzan, Al-Qasim berkata: Tidaklah diantara kedua adzan mereka itu, (jarak)
kecuali turunnya ini (Bilal) dan naiknya itu (Abdullah bin Um Maktum). (HR. Abu
‘Uwanah, Thahawi dan Ahmad)
Kalau hadits ini
digabungkan dengan atsar yang menerangkan bahwa adzan disunnahkan
dikumandangkan di menara dan iqamat sunnahnya di masjid sebagaimana atsar
Abdullah bin Syaqiq, beliau berkata bahwa termasuk Sunnah adzan adalah di
menara dan iqamat di masjid dan Abdullah bin Mas’ud melakukannya. Dikeluarkan oleh Abdurrazaq
(1/57) dan sanadnya hasan, kata Syaikh Al Albani di dalam Tamamul Minnah halaman
146.
Hadits di atas adalah dalil
yang jelas bahwasanya sunnah tempat iqamat bukan di tempat adzan. Beliau juga
menanggapi atsar yang diriwayatkan oleh Abdurrazaq (1/506) yang sanadnya shahih
bahwasanya Umar bin Abdil Aziz mengutus beberapa orang ke masjid dan tatkala
iqamat untuk shalat maka mereka berdiri. Beliau menyatakan bahwa hal ini jelas
menunjukkan bahwasanya iqamat itu dikumandangkan di dalam masjid. (Lihat
Tamamul Minnah halaman 145-146)
Keterangan di atas
menunjukkan bahwa iqamat dilakukan di masjid sedangkan adzan di menara. Kalau
demikian halnya maka berarti tidak ada kecocokan dengan hadits di atas yang
menerangkan jarak waktu di antara naiknya Bilal dan turunnya Ibnu Ummi Maktum
yang menunjukkan naiknya ke menara. Maka pendapat golongan pertama di atas tidak
cocok dengan dalil dan atsar tersebut.
c.
Di dalam masalah syariat kita dilarang
untuk taqlid kepada siapapun. Kita hanya diperintahkan untuk ittiba’ kepada
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Oleh karena itu selain ucapan
Rasulullah bisa diterima dan ditolak. “Tidaklah seorang dari kita kecuali
ditolak (ucapannya) dan diterima, kecuali pemilik kubur ini (Rasulullah) Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam”, sebagaimana keterangan Imam Malik menanggapi masalah
taqlid.
F.
Khotimah
Demikianlah,
pendapat beberapa ulama mengenai At-tatswib. Setelah melihat, memperhatikan dan
mempertimbangkan beberapa dalil, baik yang naqli maupun yang aqli, penulis berpendapat
bahwa yang rojih adalah pendapat golongan kedua, yang mengatakan bahwa
at-tatswib: الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ diucapkan pada adzan yang pertama, yaitu sebelum
datang waktu shalat fajar. hal itu bisa di lihat dari beberapa point:
1.
Dalilnya kuat, bisa dijadikan dasar
hukum.
2.
Hadits-hadits yang mentaqyid hadits
muthlaq golongan pertama, cukup kuat, bisa dijadikan dasar hukum.
3.
“Adzan pertama” yang terdapat di
dalam hadits-hadits diatas, lebih kuat untuk dipahami secara haqiqi (sebelum
waktu shalat fajar), dari pada secara majazi (iqamah sebagai adzan kedua).
4.
Secara logika, At-tatswib adalah
tambahan dalam adzan, maka tepatnya diletakkan pada adzan tambahan (Pertama)
5.
Makna “shalat lebih baik dari tidur “, yang kuat bukanlah
untuk shalat
wajib (Shubuh), tapi shalat
sunnah seperti tahajjud. Karena kalau shalat
wajib tidak cukup hanya dikatakan shalat
lebih baik dari tidur.
Sebagai penutup,
semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis sendiri dan juga semua yang
membacanya. Penulis juga mempunyai harapan agar setelah kita memutuskan masalah
at-tatswib ini dengan berijtihad secara jama’i, kita segera
mensosialisasikannya ke tingkat daerah, cabang dan ranting. Sehingga sunnah Rasul
yang sudah banyak hilang di masjid-masjid kita, bisa kita hidupkan kembali,
tentunya dengan satu niat untuk mencari ridha Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dan penulis
yakin, masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah yang sederhana ini karena
الكمال لله, maka dari itu kritik dan saran yang
membangun dari siapa saja, sangat penulis harapkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar