Populer

Selasa, 13 November 2018

*Syarah Tarjih Muhammadiyah Tentang Niat Shalat*



Oleh Zulkarnain El Madury 

 *MATAN HPT* 
مُخْلِصًا نِيَّتَكَ للهِ (2)

dengan ikhlas niyatmu karena Allah, dasar:

لِقَوْلِهِ تَعَالَى: وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ (البيّنة: 6).  وَلِحَدِيْثِ: اِنَّمَا الاَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ. الحَدِيْثِ. (مُتَّفَقٌ عَلَيهِ)

Menilik firman Allah: 'Dan tidaklah mereka diperintah melainkan supaya menyembah kepada Allah dengan lkhlas kepadaNya dalam menjalankan Agama". (Bayyinah: 6).

 Dan menurut hadits: "Sesungguhnya (shahnya) amal Itu tergantung kepada niyat (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

 *Syarah Matan HPT Muhammadiyah*

Masalah niat Shalat menentukan amal ibadah yang di amalkannya. Dalam Islam niat shalat di asaskan karena Allah, mengharap ridhanya dengan penuh keikhlasan sesuai dengan persyaratan shalat yang menjadi rukun dalam dalam sholat. Karena itulah pentingnya niat menjadi sebab akibat apakah shalat itu sehat atau tidak, karena Allah atau bukan, sehingga jika tidak selaras dengan niat, akan sia sia belaka oleh sebab niatnya.


1. Niat ikhlas dalam ibadah adalah bagian dari rukun diterimanya ibadah. Nabi  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda , “Semua amal tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari)

2. Niat adalah amal yang menggantikan hati. Oleh karena itu, tidak boleh me-lafal-kan niat dalam melakukan ibadah apapun. Kopi shalat. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam , orang yang paling sempurna ibadahnya, tidak pernah mengajarkan atau mengamalkan lafal niat dalam ibadah apapun. Maka perbuatan me-lafal-kan niatnya termasuk di antara tindakan yang menyelisihi gerakan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam .

3. Selama sudah ada lintasan hati untuk melakukan shalat tertentu maka ini sudah dianggap berniat. Oleh karena itu, yang perlu dihadirkan dalam hati membuat shalat adalah:

Shalat karena perintah Allah dan RasulNya shallallahu 'alaihi wa sallam .Nama shalat yang ingin dikerjakan, misalnya shalat dluhur atau asar.

Sedangkan sholat dengan bacaan sebagaimana yang banyak tertera dalam berbagai kitab kitab fiqih dalam pandangan sunnah tidaklah bisa diamalkan, karena bertentangan dengan perintah sunnah itu sendiri.

Contohnya seperti:


 *Niat Sholat Subuh* 

أصلي فرض الصبح ركعتين مستقبل القبلة أداء/مأموما/إماما لله تعالى

 “Saya berniat sholat fardhu subuh dua rokaat menghadap kiblat karena Allah Ta’ala/Ma’mum karena Allah Ta’ala/Imam karena Allah Ta’ala”.

 *Niat Sholat Dhuhur* 

أصلي فرض الظهر أربع ركعات مستقبل القبلة أداء/مأموما/إماما لله تعالى

 “Saya berniat sholat fardhu dhuhur empat rokaat menghadap kiblat karena Allat Ta’ala/Ma’mum karena Allah Ta’ala/Imam karena Allah Ta’ala”.

 *Bacaan Niat Sholat Ashar* 

أصلي فرض العصر أربع ركعات مستقبل القبلة أداء/مأموما/إماما لله تعالى

 “Saya berniat sholat fardhu asar empat rokaat menghadap kiblat karena Allat Ta’ala/Ma’mum karena Allah Ta’ala/Imam karena Allah Ta’ala”.

 *Niat Sholat Maghrib* 

أصلي فرض المغرب ثلاث ركعات مستقبل القبلة أداء/مأموما/إماما لله تعالى

 “Saya berniat sholat fardhu maghrib tiga rokaat menghadap kiblat karena Allat Ta’ala/Ma’mum karena Allah Ta’ala/Imam karena Allah Ta’ala”.

 *Niat Sholat Isya* 

أصلي فرض العشاء أربع ركعات مستقبل القبلة أداء/مأموما/إماما لله تعالى

 “Saya berniat sholat fardhu isya empat rokaat menghadap kiblat karena Allat Ta’ala/Ma’mum karena Allah Ta’ala/Imam karena Allah Ta’ala

Bacaan-bacaan seperti tersusun tersebut tidaklah datang dari perintah agama, sekalipun di lafadz kan di dalam hati tetap saja tidak disyariatkan oleh agama. Karena masalah niat salat itu tidaklah harus dengan lafadz yang tersusun rapi seperti itu, karena bukan contoh dari agama itu sendiri, melainkan pilah pilah dari orang-orang tertentu yang merumuskan bentuk bacaan apa yang harus dibaca di dalam niat. Seandainya seseorang datang di rumah berangkat ke masjid dan berdiri di masjid waktu Dhuhur Itu sudah pasti telah membawa niat salat duhur tidak perlu dengan kalimat yang tersusun sebagaimana tersebut di atas.

Sebagian orang yang bermadzhab Syafi'iyah salah paham terhadap ucapan Imam Syafi'i.Mereka mengira bahwa Imam Syafi'i mewajibkan niat me-lafal-kan. Imam As Syafi'i mengatakan: "... shalat itu tidak sah dengan an-nuthq." ( Al Majmu ' 3/277).

 *An Nuthq* artinya Berbicara atau mengucapkan. Sebagian Syafi'iyah memaknai An Nuthq di sini dengan melafalkan niat . Ini adalah salah satu paham terhadap maksud beliau rahimahullah .Dijelaskan oleh An Nawawi bahwa yang berhubungan dengan An Nuthq di sini menyatakan mengeraskan bacaan niat. Namun maksudnya adalah mengucapkan takbiratul ihram. An Nawawi mengatakan, “Ulama kami (syafi'iyah) mengatakan: orang yang memaknai sadar adalah keliru. Yang mengetuk Sebagai Syafi'i dengan An Nuthq mengkompilasi shalat kewajiban melafalkan niat namun maksudnya adalah takbiratul ihram. ”(Al Majmu '3/277).Kesalah-pahaman ini juga dibantah oleh Abul Hasan Al Mawardi As Syafi'i, beliau mengatakan, “Az Zubairi telah melakukan salat dalam mentakwil ucapan Imam Syafi'i dengan wajibnya mengucapkan niat shalat. Ini adalah takwil yang salah, yang wajib wajibkan adalah mencampurnya takbiratul ihram. "( Al Hawi Al Kabir 2/204).


Masyarakat kita sudah sangat akrab dengan melafalkan niat (maksudnya MELAKUKAN niat bersuara keras atau lirih) untuk ibadah-ibadah tertentu. Karena demikianlah banyak yang diajarkan oleh ustadz-ustadz kami bahkan telah melatih di sekolah-sekolah sejak Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi. Contohnya adalah tatkala melakukan shalat berniat ' Usholli fardhol Maghribi… ' atau pun tatkala berwudhu berniat ' Nawaitu wudhu'a liraf'il hadatsi… '. Jika kita melihat dari hadits di atas, memang sangat tepat jika setiap amalan harus diawali niat terlebih dahulu. Namun apakah niat itu harus dilafalkan dengan suara keras atau lirih ?!

Satu-satunya Kebenaran bisa dapat kita jawab. Bayangkan berapa banyak niat yang harus kita hafal untuk melakukan shalat mulai dari shalat sunat sebelum shubuh, shalat fardhu shubuh, shalat sunnah dhuha, shalat sunnah sebelum dzuhur, dst. Sangat banyak sekali niat yang harus kita hafal karena harus dilafalkan. Karena itu pula banyak orang yang meninggalkan amalan karena tidak mengetahui niatnya atau karena lupa. Ini sungguh sangat menyusahkan kita. Sayangnya Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ” _*Sesungguhnya agama itu mudah .”*_ (HR. Bukhari)

Ingatlah setiap ibadah itu bersifat tauqifiyyah , sudah paketan dan baku. Hakekat setiap ibadah yang dilakukan harus ada dari Al Qur'an dan Hadits termasuk juga dalam masalah niat.

Artinya melepaskan niat secara terinci,  jelas tidak sesuai dengan ketentuan agama, termasuk amalan ibadah yang tidak pernah dikenal di zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya.

*Kesimpulannya Masalah Niat*




Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan dalam kitab beliau Z a adul Ma'ad, I / 201, ”Jika seseorang menunjukkan pada kami satu hadits dari Rasul dan para sahabat tentang perkara ini, pasti kami akan menerimanya. Kami akan menerimanya dengan lapang dada. Karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari petunjuk Nabi dan sahabatnya. Dan tidak ada petunjuk yang mirip dengan petunjuk yang disampaikan oleh pemilik syari'at yaitu Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam . ”Dan sebelumnya beliau mengatakan tentang jawaban Nabi dalam shalat,” Rasulullah shallallahu' alaihi wa sallam mengatakan bahwa ia ingin mengatakan: ' Allahu Akbar '. DanBeliau tidak mengatakan satu lafadz pun sebelum takbir dan tidak pula melafadzkan upaya sama sekali . "

Maka setiap orang yang menggunaan ucapan niat wudhu, shalat, puasa, haji, dsb, maka silakan tunjukkan dalilnya. Jika memang ada dalil tentang niat tersebut, maka kami akan ikuti. Dan janganlah hal-hal yang berarti perkara baru dalam agama yang tidak ada esensi dari Nabi. Karena Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ” Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada dasar dari kami, maka amalan tersebut tertolak . (HR. Muslim). Dan janganlah selalu beralasan dengan mengatakan ' Niat kami kan baik ', karena sahabat Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhuma mengatakan,' Betapa banyak orang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya. ”(HR. Ad Darimi, sanadnya shahih, lihatIlmu Ushul Bida ' , hal. 92)