A. Perbedaan tentang Batasan Bid’ah
Para ulama memang berbeda pendapat ketika mendefinisikan bid’ah.
Definisi oleh para ulama tentang istilah ini ada sekian banyak versi. Hal itu
lantaran persepsi mereka atas bid’ah itu memang berbeda-beda. Sebagian mereka
ada yang meluaskan pengertiannya hingga mencakup apapun jenis yang baru
(diperbaharui), sedangkan yang lainnya menyempitkan batasannya.
Dalam Ensiklopedi Fiqih jilid 8 keluaran Kementrian Wakaf dan Urusan
Ke-Islaman Kuwait halaman 21 disebutkan bahwa secara umum ada dua kecenderungan
orang dalam mendefinisikan bid’ah. Yaitu kecenderungan menganggap apa yang
tidak di masa Rasulullah SAW sebagai bid’ah meski hukumnya tidak selalu sesat
atau haram. Dan kedua adalah kecenderungan untuk mengatakan bahwa semua bid’ah
adalah sesat. Tetapi kalau kita tarik garis umum, paling tidak ada dua
kecenderungan ulama dalam masalah ini.
Kelompok
Pertama
Mereka yang meluaskan batasan bid’ah itu mengatakan bahwa bid’ah adalah
segala yang baru diada-adakan yang tidak ada dalam kitab dan sunnah. Baik dalam
perkara ibadah ataupun adat. Baik pada masalah yang baik atau yang buruk.
a. Tokoh
Di antara para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah
Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya seperti Al-’Izz ibn Abdis Salam, An-Nawawi,
Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani.
Dari kalangan Hanafiyah seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanabilah
adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Zahiri.
Bisa kita
nukil pendapat Al-Izz bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa bid`ah perbuatan yang
tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, yang terbagi menjadi lima hukum. Yaitu bid’ah
wajib, bid’ah haram, bid’ah mandub (sunnah), bid’ah makruh dan bid’ah mubah.
b. Contoh
Contoh bid’ah wajib misalnya belajar ilmu nahwu yang sangat vital untuk
memahami kitabullah dan sunnah rasulnya. Contoh bid’ah haram misalnya pemikiran
dan fikrah yang sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan Khawarij.
Contoh bid’ah mandub (sunnah) misalnya mendirikan madrasah, membangun jembatan
dan juga shalat tarawih berjamaah di satu masjid. Contoh bid’ah makruh misalnya
menghias masjid atau mushaf Al-Quran. Sedangkan contoh bid’ah mubah misalnya
bersalaman setelah shalat.
c. Dalil
Pendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi lima kategori hukum didasarkan
kepada dalil-dalil Perkataan Umar bin Al-Khattab ra. tentang shalat tarawih
berjamaah di masjid bulan Ramadhan yaitu: “Sebaik-baik bid’ah adalah hal ini”.
Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha’ berjamaah di masjid sebagai
bid’ah yaitu jenis Hadits-hadits yang dijadikan hujjah untuk membagi bid’ah
menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah seperti hadits berikut:
“Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya
dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang
mensunnahkan sunnah sayyi’ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan
ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat”. (Muslim : 1017)
Kelompok
Kedua
Kalangan lain dari ulama mendefinisikan bahwa yang disebut bid’ah itu
semuanya adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat. Di antara mereka ada
yang mendifiniskan bid’ah itu sebagai sebuah jalan (tariqah) dalam agama yang
baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara’ah) yang bersifat syar`i dan diniatkan
sebagai tariqah syar’iyah.
a. Tokoh
Di antara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah
At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan
Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi, Ibnu Hajar Al-`Asqallany serta Ibnu Hajar
Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi’iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili
oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taymiyah.
b. Contoh
Contohnya adalah orang yang bernazar untuk puasa sambil berdiri di
bawah sinar matahari atau tidak memakan jenis makanan tertentu yang halal tanpa
sebab yang jelas (seperti vegetarian dan sebangsanya).
c. Dalil
Dalil yang mereka gunakan adalah bahwa Allah SWT telah menurunkan
syariat dengan lengkap di antaranya adalah fiman Allah SWT:“... Pada hari ini
telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...”.(QS. Al-Maidah:
3)
Juga ayat berikut: “dan bahwa adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah
dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan, karena jalan-jalan itu mencerai
beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu
bertakwa”. (QS. Al-An`am: 153)
Setiap ada hadits Rasulullah SAW yang berbicara tentang bid’ah, maka
selalu bermakna keburukan dan kesesatan. Misalnya hadits berikut:
1) “Barang siapa yang
mengada-adakan (suatu hal baru) dalam urusan (agama) kami ini, yang bukan
merupakan ajarannya, maka ia ditolak” (Muttafaq ‘alaih, Bukhori : 2697;
2) “Jauhilah perkara-perkara
baru (dalam agama), karena setiap perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah,
setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan tempatnya di dalam neraka”
(Ahmad: 4/126; Abu Dawud : 4607); Tirrrmidzi : 2676; Ibnu Majah : 42;
3) “Sesungguhnya sebaik-baik
perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
SAW, dan seburuk-buruk urusan adalah perkara-perkara yang diada-adakan, setiap
perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat dan setiap
kesesatan adalah di neraka” (Nasa’i: 3/188; Muslim: 867).
4) “Berpeganglah kalian kepada
sunnahku dan sunnah khulafaur rosyidin yang mendapat petunjuk setelahku, dan
berpegangteguhlah kalian terhadapnya serta gigitlah ia dengan gigi graham
kalian, jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap
perkara yang baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (Musnad Ahmad:
4/126; Abu Dawud; 4607; at Tirmidzi: 2676; Ibnu Majah: 42, shahih al jami’ : 2546).
5)
Dll.
Selain pembagian di atas maka sebagian ulama juga ada yang membuat
klasifikasi yang sedikit berbeda, oleh para ulama bid’ah terbagi dua:
1. Bid’ah dalam adat kebiasaan
(di luar masalah agama) seperti banyaknya penemuan-penemuan baru di bidang
tekhnologi, hal tersebut dibolehkan karena asal dalam adat adalah kebolehan (al-ibahah)
2. Bid’ah dalam agama,
mengada-ngada hal yang baru dalam agama. Hukumnya haram, karena asal dalam
beragama adalah at-tauqief (menunggu dalil).
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan
yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut akan tertolak” (HR
Muslim 1817).
Namun dalam kaitannya dengan bid’ah dalam agama, para ulama ternyata
juga masih memilah-milah lagi menjadi dua bagian:
1. Bid’ah perkataan yang
berkaitan dengan masalah I’tiqod, seperti perkataan Jahmiyah, Mu’tazilah,
Rafidhoh dan sekte-sekte sesat lainnya. Misalnya pendapat Mu’tazilah yang menyatakan
bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Alloh dan bukan firman-Nya.
2. Bid’ah dalam beribadah,
seperti melaksanakan suatu ritual ibadah yang tidak ada dalil syar’inya. Bid’ah
dalam ibadah ini terbagai beberapa macam :
a. Bid’ah yang terjadi pada
asal ibadah, dengan cara mengadakan suatu ritual ibadah baru yang tidak pernah
disyariatkan sebelumnya, contohnya adalah melaksanakan shaum seperti yang
disebutkan dengan tujuan agar dapat menguasai ilmu-ilmu tertentu
b. Bid’ah dalam hal menambah
Ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat sholat
c. Bid’ah dalam bentuk
pelaksanaan ibadah yang diwujudkan dengan melaksanakannya di luar aturan yang
disyariatkan, contohnya melaksanakan dzikir sambil melakukan gerakan-gerakan
tertentu.
d. Bid’ah dengan mengkhususkan
waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah masyru’. Seperti mengkhususkan
pertengahan bulan Sya’ban dengan shaum dan sholat. Karena shaum dan sholat pada
asalnya disyari’atkan akan tetapi pengkhususan pelaksanaan ibadah-ibadah
tersebut di waktu-waktu tertentu haruslah berdararkan nash (dalil-dali)
B.
Pandangan
Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar